Berita
Pakar: KPK Bukan Lagi Lembaga Independen
KPK telah menjadi lembaga eksekutif murni sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU KPK hasil revisi tersebut.
AKTUALITAS.ID – Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengatakan revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuat lembaga antirasuah ini tidak lagi independen. Menurut Abdul, KPK telah menjadi lembaga eksekutif murni sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU KPK hasil revisi tersebut. Â
“Secara substantif KPK yang dulunya lembaga independen dengan status pegawai KPK dan ASN sekarang menjadi lembaga eksekutif murni,” ujar Abdul kepada wartawan di Jakarta, Rabu (18/9/2019).
Pasal 3 UU KPK menyebutkan KPK adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun. Aturan ini berbeda dengan UU yang berlaku sebelumnya, yakni KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun.
Padahal, kata Abdul, Indonesia termasuk negara yang menandatangani United Nations Convention against Corruption (UNCAC). Karena itu, menurut dia seharusnya Indonesia konsisten dengan status KPK sebagai lembaga independen seperti yang diamanatkan UNCAC.
“Mestinya konsisten dengan status KPK yang independen sebagaimana diamanatkan UNCAC. Inkonsistensi ini mengarah kepada sistem yang otoriter,” tegasnya.
Dengan tidak menjadi lembaga independen, kata Abdul, semua penyidik KPK menjadi ASN. Kemudian, dewan pengawas ditunjuk presiden yang diberi kewenangan judisial seperti memberi izin sadap, tangkap, tahan, sita, dan lainnya.
Ia menilai hal ini aneh secara sistemik karena dewan pengawas bukan aparatur penegak hukum. Demikian juga pasal yang menentukan komisioner sebagai penegak hukum penyidik dan penuntut dicabut sehingga statusnya hanya sebagai pemimpin administratif.
“Lengkap sudah KPK menjadi lembaga yang tidak independen dan lemah karena aktivitas sebagai penegak hukumnya dibatasi dengan kontrol dewas sebagai kepanjangan tangan presiden dan DPR,” tegas Abdul
Abdul mengungkapkan, OTT tidak mungkin lagi diadakan dengan dasar penyadapan terutama calon koruptor yang berasal dari parlemen dan pemerintah. Selanjutnya, bakal terjadi potensi tebang pilih dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
“UU KPK hasil revisi ini cacat formil karena revisi UU KPK tidak tercantum dalam program prolegnas tahun 2019. Ini melanggar UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Apalagi yang memutuskan UU ini hanya 80 orang, ini cacat prosedural karena tidak quorum,” tambahnya.
-
JABODETABEK07/12/2025 05:30 WIBAwas! Cuaca Ekstrem Mengancam Jakarta Minggu 7 Desember 2025
-
JABODETABEK07/12/2025 07:30 WIBPerpanjangan SIM di Jakarta Hari Ini: Cek Lokasi dan Biaya
-
FOTO07/12/2025 10:22 WIBFOTO: Indofood UI Ultra 2025 Ajak Pelari Peduli Daur Ulang Sampah
-
OASE07/12/2025 05:00 WIBKeutamaan Surat Al Qamar: Mukjizat Terbelahnya Bulan Rasulullah dan Khasiat Memudahkan Urusan
-
NASIONAL07/12/2025 07:00 WIBAria Bima: PPHN Wajib Dihidupkan Agar Visi Presiden Selaras dengan Konstitusi
-
NASIONAL06/12/2025 23:00 WIBPetugas yang Tangkap WNA Penyelundup Nikel di IWIP, Dapat Apresiasi dari Menhan
-
POLITIK07/12/2025 06:00 WIBBupati Aceh Selatan Dicopot dari Ketua DPC Gerindra karena Umrah saat Bencana
-
NUSANTARA07/12/2025 06:30 WIBBanjir Sumatra: Korban Meninggal Capai 914 Jiwa, 389 Warga Masih Hilang

















