Demokrat: Alasan Pemerintah Tolak Revisi UU Pemilu Lemah & Rapuh


Anggota Komisi V DPR RI dari Partai Demokrat, Irwan

AKTUALITAS.ID – Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat Irwan menyatakan alasan Istana Kepresidenan menutup pintu untuk revisi Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) lemah dan rapuh.

Menurutnya, regulasi yang berlaku saat ini berpotensi membuat penyelenggaraan Pemilu 2024 semrawut. Pasalnya, kata dia gelaran pilkada, pemilihan anggota legislatif (pileg), dan pemilihan presiden (pilpres) dilakukan sekaligus alias serentak.

“Alasan pemerintah menolak revisi UU Pemilu itu lemah dan rapuh. Sangat susah mengatur pemilu serentak dengan pilkada di tahun yang sama. Kalau tidak direvisi pasti semrawut nanti,” kata Irwan kepada wartawan, Rabu (17/2/2021).

Lebih lanjut, Irwan menyoroti saran Istana agar kekurangan di UU Pemilu dilengkapi lewat Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU). Menurutnya, saran itu terlalu dipaksakan bila dilakukan.

Irwan menegaskan, PKPU hanya mengatur hal-hal teknis penyelenggaraan pemilu dan tidak bisa mengatur hal yang bertentangan dengan regulasi di atasnya karena asas hierarki peraturan perundang-undangan.

“Menyerahkan pada PKPU itu tidak tepat karena ada hal-hal yang tidak dapat dijangkau oleh PKPU dan harus diatur dalam UU, seperti kelembagaan penyelenggara, penegakan hukum, pemidanaan, dan lain-lain. Itu tidak bisa diatur PKPU,” ucap Wasekjen DPP Partai Demokrat itu.

Selain itu, menurut Irwan, alasan Istana menolak revisi UU Pilkada karena regulasi tersebut belum dilaksanakan juga lemah.

Anggota DPR yang terpilih dari Dapil Kalimantan Timur itu mengingatkan UU Pilkada yang disahkan pada 2016 silam telah dilaksanakan dengan menjadi dasar bagi pelaksanaan Pilkada Serentak pada 2017, 2018, serta 2020.

Dia menambahkan, penyelenggaraan pilkada, pileg, dan pilpres serentak 2024 juga telah berbeda dengan semangat awal perencanaannya. Menurutnya, penyelenggaraan pilkada, pileg, dan pilpres serentak 2024 bisa memakan anggaran yang lebih besar dan memakan korban jiwa yang lebih banyak dibandingkan Pemilu 2019.

“Justru keserentakan pilkada ataupun pemilu ini berbeda dengan semangat awal UU ini dibikin yaitu untuk efisiensi. Ternyata setelah diimplementasikan, justru tidak efisien. Bahkan biaya menjadi lebih mahal dan jatuh banyak korban jiwa dari petugas,” tutur Irwan.

Sebelumnya, Istana menutup pintu revisi UU Pemilu dan UU Pilkada lewat pembahasan RUU Pemilu. Mensesneg Pratikno menegaskan pemerintah tidak berencana merevisi UU Pemilu dan UU Pilkada.

“Pemerintah tidak menginginkan revisi dua undang-undang tersebut ya. Prinsipnya ya jangan sedikit-sedikit itu undang-undang diubah, yang sudah baik ya tetap dijalankan,” kata Pratikno dalam keterangan tertulis, Selasa (16/2).

Pratikno menilai, pelaksanaan Pemilu 2019 sesuai dengan aturan dalam UU Pemilu 7/2017 pun telah berjalan dengan sukses. Menurutnya, kalaupun ada kekurangan kecil dalam implementasinya, tugas Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk merevisi PKPU. Sementara itu, untuk UU Pilkada, sesuai aturan, Pilkada selanjutnya yakni berlangsung pada November 2024. Menurut Pratikno, aturan dalam beleid tersebut belum dijalankan, sehingga pemerintah tidak berencana untuk mengubah ketentuan dalam UU Pilkada.

Nasib RUU Pemilu di Senayan sendiri masih menggantung hingga saat ini. Belum ada keputusan yang pasti apakah rancangan regulasi yang pembahasannya sudah dimulai pada 2020 itu akan didrop dari dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021 atau tidak. Nasib RUU Pemilu akan diputuskan lebih lanjut setelah DPR menyelesaikan reses pada 8 Maret 2021 mendatang.

slug . '" class="' . $tag->slug . '">' . $tag->name . ''; } } ?>