POLITIK
Pisahkan Pemilu dan Pilkada, MK Dinilai Bisa Kurangi Praktik Politik Uang
AKTUALITAS.ID – Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi menyatakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan Pemilu dengan Pilkada berpotensi menurunkan praktik Money Politics atau politik uang. Pernyataan ini disampaikan Burhanuddin saat menjadi pemateri di Rapat Kerja Nasional (Rakernas) I Partai NasDem di Hotel Claro Makassar, Sabtu (9/8/2025).
Menurut Burhanuddin, meskipun putusan MK tersebut dianggap telah mengambil alih kewenangan DPR RI, secara substansi memiliki efek positif dalam mengurangi praktik politik uang. “Secara substansi, putusan MK yang memisahkan (Pemilu dan Pilkada) itu punya efek menurunkan politik uang. Karena dipisah antara pemilu nasional dan pemilu lokal,” ujarnya.
Burhanuddin memaparkan data penelitian yang mendukung pernyataannya tersebut. Ia menyebut toleransi politik uang saat Pemilu serentak mencapai 80 persen, angka yang jauh lebih tinggi dibandingkan sebelum dilakukannya Pemilu serentak yang hanya berkisar 30-an persen. “Kemudian yang kedua, meningkatkan efek politik uang terhadap pilihan. Awalnya 10 naik menjadi 30 persen. Dan terakhir, ini data linier, harga pemilih makin mahal,” tuturnya.
Ia memberikan contoh konkret, dimana sebelum pelaksanaan Pemilu serentak, uang Rp100 ribu memiliki pengaruh mencapai 61 persen terhadap pemilih. Namun, setelah dilakukan Pemilu serentak, efek uang Rp100 ribu kepada pemilih hanya berdampak 30 persen.
Burhanuddin menjelaskan adanya korelasi signifikan antara Pemilu serentak dengan peningkatan politik uang. “Kalau Pemilu serentak 5 kotak, dalam satu Pemilu ada 5 kotak, ada Pilpres, DPD, DPR RI, DPRD Provinsi, Kabupaten, Kota, mereka bergerak dalam satu waktu,” jelasnya.
“Jadi, karena Pemilu serentak, Maka more candidate, more offers atau semakin banyak kandidat yang bertarung semakin banyak politik uang yang ditawarkan sehingga terjadi proses normalisasi,” imbuhnya.
Faktor lain yang menyebabkan politik uang semakin besar saat Pemilu serentak yakni sistem proporsional terbuka dan kurangnya pengawasan. “Semakin serentak, semakin tinggi politik uang. Sudah pakai proporsional terbuka, plus ada Pemilu serentak,” ucapnya.
Dalam kesempatan yang sama, Burhanuddin juga menyinggung perolehan suara Partai NasDem di Pemilu 2024. Ia menyebut NasDem sebagai satu-satunya partai yang mengalami kenaikan suara secara konsisten dalam tiga pemilu terakhir. “Partai NasDem mengalami kenaikan beruntun tiga pemilu terakhir, suatu hal yang jarang terjadi. Sejak 2014 pertama kali partai ini ikut dalam pemilu, trennya selalu positif, dan itu bukan hal yang mudah,” jelas Muhtadi.
Ia menambahkan hal tersebut terjadi karena sistem proporsional terbuka yang memberi kesempatan NasDem mengusung caleg-caleg populer yang terbukti menyumbang suara besar. “Profil pemilih NasDem 2024 sebagian besar memilih calegnya langsung, artinya Partai NasDem sangat populer. Namun perlu dicek, apakah hanya mengandalkan popularitas caleg saja, atau NasDem perlu memperbaiki performa brandingnya agar punya daya tarik terutama di level nasional,” pungkasnya. (Ari Wibowo/Mun)
-
NASIONAL27/12/2025 01:09 WIBPengamat: Bendera GAM di Tengah Bencana Bisa Picu Trauma Lama
-
RAGAM26/12/2025 22:00 WIBJustin Bieber Bagikan Pesan Natal Penuh Iman dan Harapan
-
EKBIS27/12/2025 00:03 WIBHadapi Cuaca Ekstrem Nataru, PLN Siagakan 69.000 Personel di Seluruh Indonesia
-
JABODETABEK26/12/2025 21:00 WIBPemprov DKI Siapkan untuk Buruh: KJP Plus, Transportasi Gratis hingga BPJS Ditanggung
-
JABODETABEK27/12/2025 05:30 WIBBMKG: DKI Jakarta Waspada Hujan Sedang hingga Lebat pada Sabtu 27 Desember 2025
-
DUNIA26/12/2025 19:01 WIBWisatawan China ke Kamboja Tembus 1,1 Juta Orang, Naik 43,5 Persen
-
DUNIA26/12/2025 23:00 WIBKorut Perkuat Industri Pertahanan, Kim Jong Un Minta Produksi Rudal Ditingkatkan
-
NASIONAL27/12/2025 07:00 WIBTNI dan Masyarakat Diminta Tahan Diri Usai Insiden Bendera Bulan Bintang