Connect with us

Oase

Pandangan Modern Muhammad Shahrur Tentang Poligami dalam Islam

Published

on

Ilustrasi. Pasangan poligami. (Foto: Freepik)

AKTUALITAS.ID – Tema poligami seringkali memicu perdebatan di kalangan Muslim. Banyak yang memahami ayat tentang poligami sebagai izin bagi seorang pria untuk menikahi lebih dari satu istri, asalkan dia mampu berlaku adil. Namun, pemikir kontemporer asal Suriah, Muhammad Shahrur, menawarkan pendekatan baru dalam menafsirkan ayat ini melalui teori batas (theory of limit). Pendekatan ini tidak hanya mengajak umat Islam untuk melihat syariat dengan cara yang lebih dinamis, tetapi juga menekankan pentingnya keadilan sebagai prinsip utama.

Landasan Hukum Poligami dalam Al-Qur’an

Dasar hukum poligami terdapat dalam Surah An-Nisa’ ayat 3 yang menyatakan:

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim, maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu takut tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja…”

Secara tradisional, ayat ini dipahami sebagai izin bagi pria untuk memiliki hingga empat istri, dengan syarat berlaku adil. Namun, Shahrur menawarkan sudut pandang yang berbeda dengan menguraikan batas atas dan batas bawah dari hukum ini.

Teori Batas Muhammad Shahrur: Memahami Batas Atas dan Batas Bawah

Menurut teori batas yang dikembangkan Shahrur, ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an menetapkan batas maksimal dan minimal, yang memberi ruang untuk penerapan hukum sesuai kondisi sosial masyarakat. Dalam konteks poligami:

Batas Atas: Seorang pria boleh menikahi hingga empat istri, dengan ini sebagai batas maksimal.

Batas Bawah: Syarat berlaku adil menjadi batas yang tidak bisa diabaikan. Jika seorang pria merasa tidak mampu berlaku adil, maka ia dianjurkan untuk menikahi satu istri saja.

Shahrur menafsirkan bahwa keadilan adalah esensi dari ajaran Islam tentang hubungan rumah tangga, dan poligami seharusnya tidak dianggap sebagai norma ideal. Alih-alih, ayat tersebut justru memberi preferensi pada monogami jika keadilan tidak dapat tercapai dalam poligami.

Konteks Sosial dalam Ayat Poligami

Shahrur menekankan bahwa poligami pada awalnya diizinkan sebagai solusi untuk situasi khusus, yaitu perlindungan terhadap perempuan yatim yang rentan mengalami ketidakadilan. Dalam masyarakat Arab saat itu, perempuan yatim sering ditelantarkan atau tidak mendapatkan perlakuan yang layak. Ayat ini, menurut Shahrur, memberi izin poligami demi menjamin kesejahteraan sosial perempuan dalam kondisi-kondisi tertentu.

Namun, di luar situasi tersebut, poligami bukanlah kewajiban atau norma yang harus dipraktikkan oleh setiap Muslim. Shahrur mengingatkan bahwa Islam, melalui prinsip keadilannya, lebih mengutamakan monogami dalam kondisi modern di mana kesetaraan dan keadilan lebih mungkin dicapai dalam hubungan satu pasangan.

Poligami sebagai Pengecualian, Bukan Keutamaan

Pandangan Shahrur memberi perspektif baru tentang hukum Islam, khususnya dalam hal poligami. Baginya, poligami bukanlah perintah atau keutamaan, melainkan sebuah pengecualian dengan syarat-syarat ketat. Jika keadilan sulit dicapai dalam rumah tangga poligami, maka pilihan yang lebih diutamakan adalah monogami.

Pendekatan ini mengajak umat Islam untuk memaknai ayat-ayat Al-Qur’an secara kontekstual, sejalan dengan perkembangan zaman, dan menegaskan bahwa keadilan adalah prinsip utama dalam ajaran Islam. Pemikiran Shahrur mendorong pemahaman hukum Islam yang lebih fleksibel dan dinamis, memungkinkan syariat berkembang tanpa mengabaikan prinsip-prinsip pokok yang menjadi nilai utama Islam. (KAISAR/RAFI)

Continue Reading

Trending