Berita
Sejarah Bisnis Asuransi di Indonesia
Kasus dugaan korupsi melanda Jiwasraya dan Asabri, dua perusahaan asuransi milik negara. Keduanya asuransi berbeda jenis. Jiwasraya bergerak di asuransi jiwa, sedangkan Asabri mengelola dana pensiun. Tapi pangkal kasus keduanya sama: kesalahan berinvestasi. Kesalahan itu merugikan negara lebih dari Rp20 triliun dan mengancam kepercayaan publik terhadap asuransi. Asuransi termasuk industri keuangan nonbank. Perkembangannya di Indonesia […]
Kasus dugaan korupsi melanda Jiwasraya dan Asabri, dua perusahaan asuransi milik negara. Keduanya asuransi berbeda jenis. Jiwasraya bergerak di asuransi jiwa, sedangkan Asabri mengelola dana pensiun. Tapi pangkal kasus keduanya sama: kesalahan berinvestasi. Kesalahan itu merugikan negara lebih dari Rp20 triliun dan mengancam kepercayaan publik terhadap asuransi.
Asuransi termasuk industri keuangan nonbank. Perkembangannya di Indonesia tergolong lambat. Penyebabnya beragam. Dari tingkat pendapatan masyarakat, kebiasaan hidup komunal, kegoyahan nilai rupiah, sampai perkara rendahnya literasi masyarakat tentang asuransi. Semua bisa ditelisik satu per satu dari sejarah asuransi di Indonesia.
Kemunculan bisnis asuransi di Indonesia bermula sejak 1840-an. Masa ini kota pelabuhan seperti Batavia dan Semarang mengalami peningkatan transaksi perdagangan, khususnya hasil perkebunan.
Barang dagangan dan kapal pembawanya rentan celaka selama perjalanan di laut. Bisa karena pembusukan, perompakan, kebakaran, atau terpaan ombak. Seiring itulah perusahaan asuransi muncul menawarkan pertanggungan (underwriter) terhadap barang-barang dagang dan kapal pembawanya.
“Perusahaan asuransi pertama di Indonesia berasal dari modal orang-orang Belanda dan bernama Bataviaasche Zee en Brand-Assurantie Maatschappij. Berdiri pada 18 Januari 1843 dan berlokasi di Kali Besar Timur, Batavia,” catat Indonesian Senior Executives Association (ISEA) dalam History of Insurance in Indonesia.
Untuk membiayai ganti rugi terhadap kemungkinan celaka pada barang dagangan dan kapal anggotanya, perusahaan asuransi menarik biaya (premi) dari para anggotanya. Prinsip ini dikenal dengan fortuned many help fortuned one.
“Dengan demikian orang banyak yang beruntung (tidak mengalami musibah) membantu satu orang yang tidak beruntung,” kata Teddy Hailamsah, mantan managing director PT. Asuransi Central Asia dalam Asuransi di Indonesia: Pandangan Tokoh-Tokoh Asuransi Jilid 1.
Ternyata konsep tersebut sangat diminati oleh pelaku dagang. Menyusul itu, berdirilah perusahaan asuransi lainnya di Batavia dan Semarang. Beberapa di antaranya menginduk pada perusahaan asuransi di negeri Belanda bernama NV Handel, Industrrie en Landbouw Maatschappij Tiedeman & van Kerchem and Escompto Bank. Salah satunya bernama Nederlansch Indische Levensverzekering en Lijfrente Maatschappij atau disingkat NILLMIJ.
NILLMIJ bergerak di bidang asuransi jiwa. Artinya, perusahaan ini menanggung ganti rugi kepada keluarga anggotanya (tertanggung) jika si tertanggung meninggal dunia ketika mencari nafkah.
Menurut Santoso Poedjosoebroto dalam Beberapa Aspekta tentang Hukum Pertanggungan Djiwa di Indonesia, asuransi jiwa di Hindia Belanda terpengaruh kuat dengan perkembangan asuransi jiwa di negeri Belanda.
Orang menaruh curiga pada kemunculan asuransi jiwa pertama di Belanda. “Dianggap sebagai suatu lembaga yang bersifat pertaruhan, dan bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan,” catat Poedjosoebroto. Hal serupa terjadi pula di Hindia Belanda. Tetapi anggapan itu berangsur hilang setelah orang-orang Eropa di Hindia Belanda melihat manfaatnya bagi keluarga mereka.
NILLMIJ hanya beranggotakan orang-orang Eropa di Hindia Belanda. Mereka tidak menganggap orang-orang tempatan sebagai target anggotanya. “Selain karena secara ekonomi kurang potensial, kaum pribumi yang merupakan bangsa terjajah memang cenderung dianggap hanya sebagai ‘alat’ saja oleh bangsa penjajah dalam mencapai tujuannya,” kata Suratno Hadisuwito, mantan direktur utama AJB Bumiputera 1912 dalam Asuransi di Indonesia: Pandangan Tokoh-Tokoh Asuransi Jilid 1.
Orang-orang tempatan sendiri sebenarnya sudah mempunyai konsep tradisional tentang pertanggungan jiwa. Drs. G. Lasut, direktur keuangan Jiwasraya, dalam “Asuransi Rakyat Desa” termuat di Wahana Daya, Mei–Juni 1978, menyatakan pertanggungan kaprah diberikan sanak keluarga kepada orang-orang terdekat yang berhadapan dengan kematian, usia lanjut, dan anak-anak piatu.
“Semua ini merupakan salah satu ciri gotong-royong tradisionil yang ada dalam masyarakat kita,” tulis Lasut. Dia melanjutkan, kehadiran asuransi jiwa NILLMIJ telah membawa perspektif baru tentang gotong royong: “Gotong royong modern melalui asuransi jiwa.”
Tetapi potensi orang-orang tempatan ini tak tampak dalam pandangan pemodal-pemodal NILLMIJ. Hingga 1900-an, tak ada golongan anak negeri bergabung ke perusahaan asuransi milik orang Belanda. Anak negeri hidup dalam dunianya sendiri. Mereka tidak melihat asuransi sebagai sebuah kebutuhan. Konsep asuransi dari Belanda itu jauh dari bayangan mereka. Sistem ekonomi uang sebagai tumpuan asuransi pun bergerak lambat masuk di nadi ekonomi kalangan anak negeri.
Keadaan itu sedikit berubah dengan kemunculan Boedi Ooetomo (BO). Organisasi priyayi Jawa ini berupaya memperbaiki taraf hidup anak negeri. Dwidjosewojo, salah seorang anggota Boedi Ooetomo cabang Yogyakarta, mempelajari laku-lampah NILLMIJ. Menurutnya, anak negeri membutuhkan usaha asuransi demi memperbaiki taraf hidupnya.
Dwidjosewojo adalah seorang guru di Magelang. Karena itulah, ikhtiarnya pertama-tama berangkat dari kehidupan guru. Dia melihat kejomplangan gaji guru anak negeri dengan guru berbangsa Belanda.
Hidup guru anak negeri morat-marit. Kebutuhan bulanan seringkali tak tercukupi oleh gaji. Tak ada sisa gaji untuk menghadapi hari depan atau kemungkinan terburuk lainnya semisal kematian si guru, tulang punggung keluarga.
Dwidjosewojo lalu mengusulkan pembentukan badan asuransi jiwa bersama dalam rapat Persatoean Goeroe Hindia Belanda (PGHB). “Selain untuk menguatkan perekonomian anggota-anggotanya, juga untuk memberikan bantuan bagi keluarga anggota di kemudian hari,” ungkap Ari Kurniasari, lulusan program studi sejarah Universitas Indonesia yang pernah meneliti sejarah asuransi di Indonesia 1912–1933, Asuransi untuk Orang-Orang Bumiputera: Onderlinge Levensverzekering Maatschappij Boemi Poetera 1912–1933.
Usul Dwidjosewojo beroleh tempat di anggota PHGB. Badan asuransi itu akhirnya terwujud di Magelang pada 12 Februari 1912. Namanya Onderlinge Levensverzekering Maatschappij PGHB atau disingkat OL Mij PGHB. Inilah asuransi pertama dari, oleh, dan untuk anak negeri. Didirikan oleh kelompok intelektual anak negeri, yaitu para guru. Kelompok ini relatif karib dengan ekonomi uang dan modernitas.
Anggota OL Mij PGHB terus bertambah tahun demi tahun. Tidak hanya guru, melainkan juga pegawai negeri. Kalangan menengah anak negeri lainnya, seperti kaum pedagang, melihat perkembangan asuransi untuk guru-guru negeri itu. Mereka tertarik masuk menjadi anggotanya. Tetapi pemerintah kolonial tidak mengizinkan kalangan menengah bergabung ke OL Mij PGHB. Badan itu khusus untuk guru atau pegawai negeri.
“Berhubung banyak permintaan untuk menjadi anggota dari pihak bukan pegawai, maka oleh pengurus lalu didirikan maskapai yang khusus ditujukan kepada orang-orang swasta, dengan diberi nama OL Mij Boemi Poetera Merdeka,” catat Santoso Poedjosoebroto.
Ketika Indonesia telah merdeka, beberapa asuransi milik orang Belanda dinasionalisasi menjadi sebuah perusahaan negara pada 1961. “Dalam konsiderannya, pemerintah berpendapat bahwa perusahaan asuransi (pertanggungan) jiwa adalah cabang produksi yang penting bagi masyarakat, dan yang menguasai hajat hidup orang banyak,” catat Soepartono S.H. dalam “Asuransi Jiwa: Sarana Pembangunan Ekonomi Negara” termuat di Wahana Daya, November–Desember 1977.
Saat itu, nasabah terbesar asuransi tetap berasal dari kalangan menengah hingga atas. Kalangan bawah sama sekali tidak mampu menjangkau premi asuransi. Mereka buta tentang asuransi dan lebih mengutamakan biaya makan dan tempat tinggal. Promosi asuransi pun relatif jarang bergaung. Bahkan tak ada pemikir asuransi. Ini berbeda dengan perkembangan bank dan koperasi. Bisnis asuransi benar-benar lesu darah.
Kondisi lesu asuransi itu bertambah parah lantaran pemotongan nilai uang (sanering) oleh pemerintah beberapa kali pada dekade 1950 dan 1960-an. Akibatnya nilai uang dan klaim dari masyarakat tergerus. Nasabah merugi.
“Banyak yang menyalahkan asuransi, paling tidak mengumpat-ngumpat bahwa asuransi bikin sengsara atau seolah-olah bersumpah tidak akan memasuki asuransi lagi,” kata Suratno Hadisuwito.
Perubahan politik pada 1965 berpengaruh pada keadaan ekonomi. Rezim pemerintahan baru naik dengan mantra pembangunan ekonomi dan stabilitas politik. Pendapatan bulanan masyarakat terkerek naik. Zaman baru bagi asuransi tiba. (Historia.id)
-
Multimedia10 hours ago
FOTO: Bawaslu Gelar Konsolidasi Nasional Perempuan Pengawas Pemilu
-
POLITIK14 hours ago
Bawaslu Gelar Konsolidasi Nasional Perempuan Pengawas Pemilu untuk Refleksi Kinerja dan Strategi Kedepan
-
Oase23 hours ago
Hukum Merayakan Natal dalam Islam, Berikut Penjelasannya!
-
POLITIK6 hours ago
Ketua Komisi II Menentang Pembentukan KPU-Bawaslu Ad Hoc
-
Ragam17 hours ago
Bantah Gelapkan Harta Warisan, Ratna Sarumpaet: Aku Enggak Dendam
-
Ragam14 hours ago
Aura Kasih Debut Jadi Eksekutif Produser, Film “Anak Kunti” Siap Menggebrak Asia
-
OtoTek15 hours ago
WhatsApp Hadirkan Fitur Baru untuk Meriahkan Libur Akhir Tahun
-
Olahraga19 hours ago
Dicoret dari Pelatnas, Christian Adinata: Perjuangan Tanpa Akhir di Dunia Bulu Tangkis