Connect with us

EKBIS

Tambang Nikel di Raja Ampat Tak Ubah Tata Ruang, ESDM: Izin Lama Lebih Kuat dari Putusan MK?

Aktualitas.id -

Logo Kementerian ESDM, Foto: Ist

AKTUALITAS.ID – Polemik tambang nikel di Pulau Gag, Raja Ampat, kian memanas setelah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menegaskan bahwa aktivitas tambang PT GAG Nikel tidak akan mengubah tata ruang wilayah, meski Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyatakan larangan aktivitas tambang di pulau kecil dan wilayah pesisir.

Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba), Tri Winarno, menjelaskan izin pertambangan yang telah dikeluarkan tetap berlaku dan tak terpengaruh oleh ketentuan baru, merujuk pada Undang-Undang No. 2 Tahun 2025 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

“Di situ dinyatakan izin yang sudah diberikan itu tidak akan mengalami perubahan tata ruang,” ujar Tri saat mendampingi Menteri ESDM Bahlil Lahadalia dalam kunjungan ke Pulau Gag.

Pernyataan ini muncul di tengah sorotan atas Putusan MK No. 35/PUU-XXI/2023 yang secara tegas melarang penambangan mineral di wilayah pesisir dan pulau kecil, mengingat potensi kerusakan ekologis yang tak dapat dipulihkan serta pelanggaran terhadap prinsip keadilan antargenerasi.

Namun menurut Tri, PT GAG Nikel anak usaha BUMN Antam beroperasi di bawah skema Kontrak Karya (KK) yang mendapat pengecualian khusus berdasarkan Undang-Undang Kehutanan. Ia menyebut, GAG Nikel merupakan salah satu dari 13 perusahaan yang tetap diperbolehkan menambang meski di kawasan hutan lindung.

“Kontrak karya itu sudah berjalan sebelum aturan baru, dan ada klausul pengecualian. Jadi, posisi hukumnya tetap kuat,” tegasnya.

Menteri ESDM Bahlil Lahadalia sebelumnya sempat menghentikan sementara operasi GAG Nikel guna merespons pengaduan masyarakat setempat dan memastikan seluruh prosedur hukum serta lingkungan telah ditaati. “Dari lima izin tambang yang ada, hanya GAG yang aktif. Ini milik negara melalui Antam,” kata Bahlil.

GAG Nikel mengantongi izin kontrak karya berdasarkan akta nomor 430.K/30/DJB/2017, dengan wilayah operasi seluas 13.136 hektare, dan mulai berproduksi pada 2018 setelah mendapatkan amdal.

Meski pemerintah pusat menyatakan legalitas tambang tetap sah, kritik dari publik dan pegiat lingkungan terus menguat. Mereka menilai, penegasan ESDM menunjukkan adanya tarik-menarik antara kepentingan investasi dan komitmen terhadap perlindungan ekologis.

“Ini bukan sekadar soal legalitas kontrak, tapi soal warisan lingkungan untuk generasi mendatang,” ujar seorang aktivis lingkungan lokal.

Polemik ini pun membuka pertanyaan besar: apakah kontrak karya di masa lalu bisa menjadi tameng terhadap putusan konstitusional dan krisis ekologis masa depan? (Ari Wibowo/Mun)

TRENDING

Exit mobile version