Connect with us

POLITIK

Hilmi Rahman: Tanpa GBHN, Program MBG Dinilai Sekadar Janji Politik

Aktualitas.id -

AKTUALITAS.ID – Pengamat kebijakan publik Hilmi Rahman Ibrahim menilai, program Makanan Bergizi Gratis (MBG) dipandang sebagai contoh kebijakan yang lahir lebih karena janji politik, bukan hasil perencanaan pembangunan yang matang. Pasalnya, Indonesia tidak lagi memiliki Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) atau instrumen serupa sebagai panduan arah pembangunan.

“Kalau tidak ada GBHN, siapapun yang jadi presiden bisa memasukkan gagasan pribadinya sebagai program utama. Itu bukan pembangunan, tapi target elektoral,” kata Hilmi saat dihubungi Aktualitas.id, Senin (22/9/2025).

Baca Juga: Publik Tak Pernah Dapat Laporan Capaian, Pengamat: Evaluasi MBG Dinilai Tidak Independen

Hilmi menilai, arah pembangunan seharusnya tidak ditentukan oleh kepentingan politik jangka pendek, melainkan berlandaskan kebutuhan masyarakat secara luas. Selain itu, dirinya mengingatkan bahwa pembangunan akan kehilangan makna jika hanya dijalankan untuk kepentingan elektoral.

Dosen Universitas Nasional (Unas) itu menegaskan, masyarakat seharusnya menjadi pusat pembangunan, bukan sekadar objek janji kampanye.

“Target pembangunan itu harus membuat masyarakat sejahtera, bukan hanya menyenangkan pemilih. Kalau semua program dibuat demi popularitas, pembangunan kita bisa bahaya,” ujarnya.

Baca Juga: Maraknya Keracunan MBG, Pengamat Soroti Lemahnya Tata Kelola

Menurutnya, adanya GBHN atau instrumen sejenis akan membuat pembangunan lebih konsisten. Program prioritas akan berjalan sesuai rencana strategis negara, bukan berdasarkan kepentingan politik jangka pendek.

“Kalau tidak ada perlindungan dari arah pembangunan nasional, janji presiden, menteri, atau kepala daerah bisa tiba-tiba dianggap sebagai program strategis. Itu berbahaya,” katanya.

Hilmi menambahkan, kritik terhadap MBG juga semakin relevan karena di lapangan sudah muncul berbagai masalah. Sejumlah daerah melaporkan kasus keracunan massal akibat program ini, dengan puluhan hingga ratusan korban yang mayoritas berasal dari kalangan pelajar. Berdasarkan data Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) setidaknya ada lebih dari lima ribu anak mengalami keracunan pascakonsumsi MBG hingga September 2025.

“Kalau janji politik dijadikan program tanpa perhitungan matang, hasilnya justru anomali. Ada wilayah yang sebenarnya tidak butuh, tapi ikut dipaksakan dapat bantuan. Sebaliknya, ada wilayah yang sangat membutuhkan justru tidak mendapatkan perhatian serius. Kasus keracunan MBG itu bukti nyata lemahnya perencanaan,” pungkasnya. (KBH/RR).

TRENDING