POLITIK
Pakar Unpad: Koalisi Partai Politik Perlu Dibatasi untuk Keseimbangan Politik
AKTUALITAS.ID – Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu ke depan dinilai krusial untuk mengatur secara serius mekanisme dan batasan koalisi partai politik. Tanpa regulasi yang jelas, sistem presidensialisme multipartai Indonesia terancam lemah akibat fenomena “koalisi tambun” yang menghilangkan fungsi oposisi.
Pakar ilmu politik Universitas Padjadjaran (Unpad), Firman Manan, menyatakan bahwa penguatan sistem presidensial tidak cukup hanya mengandalkan perangkat presiden, tetapi harus ditopang oleh regulasi yang mendorong keseimbangan antara pemerintah dan oposisi.
“Salah satu instrumen utamanya adalah koalisi. Namun, model koalisi kita terlalu besar, tanpa keterkaitan ideologi maupun agenda kebijakan antarpartai,” ujar Firman pada Sabtu (18/10/2025).
Firman menilai, pola koalisi saat ini tidak sehat karena cenderung dibangun atas dasar kepentingan jabatan, bukan kesamaan ideologi. Hal ini memicu dampak negatif yang serius terhadap kualitas demokrasi.
“Ini berbahaya, karena berdasarkan banyak studi, pola seperti itu melahirkan politik kartel dan melemahkan mekanisme check and balance,” katanya.
Ia membandingkan situasi saat ini dengan era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), di mana kekhawatiran presiden minoritas akan diganggu parlemen kuat. Kini, situasinya berbalik.
“Yang terjadi sekarang, bukannya presiden tidak stabil karena parlemen kuat, tapi justru parlemen ikut terkooptasi oleh kekuasaan eksekutif. Akibatnya, kualitas demokrasi dan fungsi pengawasan menjadi lemah,” jelasnya.
Atas dasar itu, Firman Manan menekankan perlunya batas minimum koalisi dalam RUU Pemilu. Menurutnya, koalisi yang ideal seharusnya terbatas agar kekuatan oposisi tetap hidup.
“Idealnya, koalisi cukup 50% plus satu. Harus ada kekuatan oposisi yang hidup dan memiliki peran pengimbang di parlemen,” tegasnya.
Masalah mendasar lain adalah minimnya insentif bagi partai yang memilih menjadi oposisi. Dalam sistem politik saat ini, partai yang berada di luar pemerintahan sering tidak mendapatkan keuntungan politik.
“Menjadi oposisi itu tidak mendapat insentif. Maka yang terjadi, semua partai ingin masuk pemerintahan. Ini membuat demokrasi kita kehilangan keseimbangan,” tambahnya.
Firman menilai, pemilu lokal serentak sebenarnya bisa menjadi mekanisme alamiah untuk memberikan insentif bagi oposisi, yang bertindak sebagai ‘referendum’ terhadap kinerja pemerintah nasional – seperti yang terjadi di beberapa negara maju. Namun, ia menyayangkan pemilih di Indonesia masih kesulitan mengidentifikasi siapa yang layak ‘dihukum’ saat kinerja pemerintah nasional tidak memuaskan. (Mun)
-
EKBIS06/12/2025 09:30 WIBDaftar Harga Emas Antam 6 Desember 2025 per Gram dan Pecahan Lengkap
-
JABODETABEK06/12/2025 05:30 WIBCuaca Jakarta Akhir Pekan: Hujan Merata di Selatan hingga Utara
-
NUSANTARA05/12/2025 23:00 WIBMobil Travel Terguling di Bali, 13 Wisatawan China Terluka
-
NUSANTARA06/12/2025 10:30 WIBErupsi Semeru: Banjir Lahar Dingin Rusak Rumah dan Fasilitas di Lumajang
-
OASE06/12/2025 05:00 WIBMakna Surat An-Najm dan Hubungannya dengan Peristiwa Mi’raj Nabi Muhammad SAW
-
JABODETABEK05/12/2025 22:02 WIBBanjir Rob Masih Genangi Pluit, Aktivitas Warga Terganggu
-
NUSANTARA06/12/2025 06:30 WIBSungai Citarum Meluap, Ribuan Warga di 3 Kecamatan Bandung Terendam Banjir
-
RIAU06/12/2025 00:02 WIBPemerintah Kabupaten Pelalawan Bentuk Tim Peduli Bencana Aceh-Sumut-Sumbar

















