Connect with us

Berita

Menkominfo Ingin Pemilu Gunakan Teknologi Digital, Ini Plus Minus E-Voting

Published

on

AKTUALITAS.ID – Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G. Plate mengatakan jika Indonesia mengadopsi teknologi digital dalam pemilu akan memiliki manfaat untuk mewujudkan efektivitas dan efisiensi dalam proses kontestasi politik yang legitimate, baik dalam tahapan pemilih, verifikasi identitas pemilih, pemungutan suara, penghitungan suara, maupun transmisi dan tabulasi hasil pemilu.

Apa yang disampaikan Johnny G. Plate dalam Rapat Koordinasi Digitalisasi Pemilu untuk Digitalisasi Indonesia secara hibrida di Bali, pada Rabu (23/3/2022) soal digitalisasi penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) saat bertemu dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI itu patut menjadi bahan pertimbangan bagi Pemerintah dan DPR RI.

Dengan demikian, pemungutan suara pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden RI, Pemilu Anggota DPR RI, Pemilu Anggota DPD RI, serta pemilu anggota DPRD tingkat provinsi, kabupaten, dan kota pada tahun 2024 bisa secara e-voting.

Beda dengan pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024. Undang-Undang tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada) lebih visioner ketimbang UU Pemilu.

Bila menilik pengalaman negara lain, selalu ada plus minus terkait dengan penggunaan e-voting ini. Misalnya, di beberapa negara Amerika Latin, seperti Meksiko, Brasil, bahkan Amerika Serikat, mengalami pengalaman kurang menyenangkan. AS bahkan pada Pilpres 2016 diyakini banyak pihak telah terjadi aksi peretasan oleh pihak luar untuk mempengaruhi perolehan suara.

Di Amerika Selatan sendiri, beberapa negara sudah melakukan e-voting, Brasil salah satunya. Beberapa peristiwa peretasan bertujuan mendelegitimasi hasil pemilu. Hal ini harus menjadi perhatian serius KPU RI bila ingin mengimplementasikan e-voting. Misalnya, dalam banyak kesempatan website KPU RI down dan berubah hasil tampilan perhitungan suaranya.

Meskipun hal tersebut tidak masuk dalam hitungan resmi pemilu, menurut Pratama, ini menunjukkan bagaimana berbahayanya e-voting bila dari sisi keamanan siber tidak benar-benar disiapkan.

Bila ini terjadi, peretasan pada sistem e-voting hanya akan dijadikan pintu masuk bagi dimulainya konflik politik dan perpecahan yang jauh lebih besar.

Banyak pembenahan menuju e-voting. Misalnya, soal data kependudukan yang dipakai, ini merujuk data yang mana? Karena data di KPU bisa jadi berbeda dengan dukcapil dan Kemensos. Ini terjadi karena belum adanya satu data.

Padahal, program satu data sendiri sudah digalakkan oleh Presiden RI Joko Widodo, salah satunya bertujuan agar data masyarakat ini hanya satu saja sehingga optimalisasi penggunaannya benar-benar maksimal.

Belum lagi masalah kebocoran data KPU, bahkan menurut Pratama, sudah beberapa kali terjadi dan berpotensi menimbulkan masalah di kemudian hari meski sebenarnya adanya peretasan dan mengubah hasil suara di situs KPU tidak akan mengubah hasil perhitungan suara manual. Pasalnya, amanat UU Pemilu masih menghitung manual. Oleh karena itu, selama ini ada peretasan relatif tidak berpengaruh pada hasil pemilu.

Dengan demikian, selama dengan UU lama dan metode perhitungan suara manual, manipulasi data perhitungan suara lewat sistem elektronik milik KPU seperti website tidak akan berpengaruh pada perhitungan manual. Dengan model saat ini, manipulasi perhitungan suara masih di lapangan.

Terus kapan e-voting bisa dilaksanakan di Indonesia? Semua itu tergantung pada bangsa ini mau menyiapkan model e-voting seperti apa, kemudian sejauh mana kota yang akan melakukan uji coba siap secara infrastruktur.

Pada prinsipnya bisa, hanya secara regulasi di DPR ini yang akan memakan waktu lama meski terkait dengan teknis teknologinya sebenarnya tidak menghabiskan banyak waktu.

OASE

INFOGRAFIS

WARGANET

Trending