Connect with us

NASIONAL

Jangan Main Api! Hendardi Peringatkan Fadli Zon Soal Rekayasa Sejarah dan Trauma Korban

Aktualitas.id -

Hendardi, Foto: Ist

AKTUALITAS.ID – Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi, melontarkan kritik keras terhadap proyek penulisan ulang Sejarah Nasional Indonesia (SNI) yang digagas Kementerian Kebudayaan. Ia mendesak pemerintah untuk membatalkan proyek yang dinilai sarat kepentingan politik dan menuding Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, bertindak manipulatif dan tidak berempati pada korban pelanggaran HAM.

“Pemerintah sebaiknya mengurungkan ambisi untuk mengada-ada dengan merekayasa dan membelokkan sejarah perjalanan bangsa secara insinuatif dan tergesa-gesa,” ujar Hendardi dalam keterangan persnya di Jakarta, Senin (16/6/2025).

Proyek yang ditargetkan rampung sebelum 17 Agustus 2025 ini, menurut Hendardi, sangat problematik dan berpotensi menjadi alat bagi rezim penguasa untuk membelokkan sejarah demi kepentingan politik. Ia menyamakan proyek ini dengan upaya rekayasa sejarah yang pernah dilakukan oleh Rezim Orde Baru pimpinan Nugroho Notosusanto.

Fokus utama kritik Hendardi tertuju pada sosok Fadli Zon. Narasi yang dibangun Fadli Zon terkait proyek ini disebutnya “cenderung manipulatif, sarat sensasi dan tipu muslihat alias ngawur.”

Pernyataan Fadli Zon yang menyangkal adanya tragedi pemerkosaan massal pada kerusuhan Mei 1998 menjadi puncak kemarahan. Hendardi menilai Fadli tidak hanya minim empati, tetapi juga “berhalusinasi dan mengarang bebas.”

“Sikap Fadli bertentangan dengan pernyataan resmi Presiden B.J. Habibie saat itu, temuan TGPF Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, investigasi Komnas HAM dan Komnas Perempuan, serta berbagai studi ilmiah,” tegasnya.

Atas dasar itu, SETARA Institute menuntut Fadli Zon untuk segera menarik ucapannya dan meminta maaf secara terbuka kepada publik, terutama kepada para korban dan keluarga mereka.

Lebih lanjut, Hendardi mempertanyakan otoritas Kementerian Kebudayaan dalam menentukan narasi sejarah bangsa. Menurutnya, proyek semacam ini seharusnya dikoordinasikan oleh kementerian yang membidangi pendidikan dan dilakukan tanpa tergesa-gesa.

“Target waktu sebelum Agustus 2025 justru menguatkan kesan publik di balik proyek ini terdapat ambisi politik rezim untuk merekayasa sejarah, memanfaatkan ungkapan ‘Sejarah adalah Milik Kaum Pemenang’,” pungkas Hendardi.

Sebagai gantinya, ia menyerukan dialog nasional yang panjang, mendalam, dan inklusif untuk merumuskan fakta sejarah. Menurutnya, pemerintah seharusnya lebih fokus menunjukkan itikad baik dalam mengungkap kebenaran kasus-kasus pelanggaran HAM, bukan malah menulis ulang sejarah sesuai selera penguasa. (Ari Wibowo/Mun)

TRENDING