Connect with us

POLITIK

PKS Kecam Putusan MK Soal Pemisahan Pemilu Nasional dan Daerah

Aktualitas.id -

Ilustrasi, Dok: aktualitas.id

AKTUALITAS.ID – Partai Keadilan Sejahtera (PKS) melayangkan kritik tajam terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutuskan untuk memisahkan pelaksanaan Pemilu nasional dan Pemilu daerah. Menurut PKS, putusan tersebut berpotensi melanggar konstitusi serta dianggap melampaui batas kewenangan yang dimiliki oleh MK.

Ketua Badan Legislasi DPP PKS, Zainudin Paru, menegaskan Pasal 22E Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 telah jelas mengatur keterpilihan anggota DPRD merupakan hasil dari Pemilu yang harus diselenggarakan setiap lima tahun sekali. Ia menilai, putusan MK yang membuka peluang perpanjangan masa jabatan anggota DPRD tanpa adanya Pemilu adalah tindakan yang inkonstitusional.

“Perpanjangan masa jabatan anggota DPRD tanpa Pemilu adalah bentuk tindakan inkonstitusional. Hal ini melanggar Pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD 1945, baik dari sisi waktu maupun subjek lembaga yang diatur,” tegas Zainudin dalam keterangannya pada Rabu (2/7/2025).

Lebih lanjut, Zainudin menyatakan perubahan mendasar terhadap norma-norma konstitusi seharusnya menjadi wewenang dari pembentuk Undang-Undang Dasar, bukan Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, PKS menilai bahwa melalui putusan ini, MK telah bertindak melampaui batas kewenangannya.

“MK seolah-olah mengambil alih peran pembentuk UUD, padahal ranah itu bukan kewenangannya. Ini menjadi preseden buruk dalam sistem ketatanegaraan kita,” lanjutnya dengan nada khawatir.

Selain menyoroti isu perpanjangan masa jabatan DPRD, PKS juga mengkritisi inkonsistensi MK terkait status Pilkada dalam Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024. Menurut Zainudin, MK terkesan tidak memiliki posisi yang tetap mengenai apakah Pilkada masuk dalam rezim pemerintahan daerah atau rezim kepemiluan.

“Putusan ini seharusnya masuk dalam ranah manajemen pemilu, bukan konstitusionalitas. Ketidakkonsistenan ini semakin memperlemah posisi hukum MK, apalagi dalam putusan sebelumnya Nomor 85/PUU-XX/2022, Pilkada disamakan dengan Pemilu,” jelas Zainudin.

PKS juga menyinggung mengenai model keserentakan Pemilu yang seharusnya dikembalikan kepada pembentuk undang-undang melalui kebijakan hukum terbuka (open legal policy), sebagaimana yang telah ditegaskan dalam Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019.

“Meski pasal-pasal yang diuji dalam perkara ini belum secara eksplisit diubah, kenyataannya model keserentakan telah ditetapkan dan dijalankan pada 2024. Maka, pembentuk undang-undang perlu mengambil kembali fungsi legislasinya untuk memastikan pelaksanaan Pemilu sesuai dengan UUD 1945,” pungkasnya.

Sebagai penutup, PKS menyerukan kepada seluruh elemen bangsa, termasuk Mahkamah Konstitusi, untuk senantiasa menjunjung tinggi prinsip-prinsip konstitusional dalam rangka menjaga marwah demokrasi di Indonesia. (Ari Wibowo/Mun)

TRENDING