Connect with us

POLITIK

Lahir di Malang, Acoma Jadi Partai Komunis yang Berani Melawan Dominasi PKI

Aktualitas.id -

Poster peserta Pemilu 1955

AKTUALITAS.ID – Jauh sebelum Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi salah satu kekuatan politik terbesar, sebuah gerakan komunis muda yang berseberangan justru lahir di Kota Malang. Tergabung dalam Angkatan Communis Muda (Acoma), jejak mereka terkubur oleh tabu sejarah dan dominasi rival beratnya.

Acoma menjadi bagian penting dari sejarah pergerakan di era awal kemerdekaan. Didirikan di Malang pada 10 Juni 1946, Acoma awalnya bukanlah partai politik, melainkan gerakan pemuda komunis non-PKI yang diisi oleh kader protelar muda dari sektor industri, pertanian, hingga pemerintahan.

Namun, yang membuat Acoma unik dalam catatan sejarah adalah posisinya yang berseberangan tajam dengan PKI, meski keduanya mengusung ideologi yang sama.

Menuduh PKI ‘Membonceng Imperialisme’
Jejak pemikiran dan sikap politik Acoma terekam dalam risalah sang ketua umum, Ibnu Parna, bertajuk “Pengantar Oposisi Rakyat” (1954). Tulisan ini mengungkap akar perpecahan Acoma dengan PKI.

Meski Acoma dan PKI pernah berada dalam satu payung “Persatuan Perjuangan” pada Januari 1946, friksi segera muncul setelah himpunan itu bubar.

Bagi Ibnu Parna dan kader Acoma, PKI tidak lebih dari partai yang membonceng kepentingan imperialisme. Sikap ini didasari oleh persetujuan PKI terhadap Perjanjian Linggarjati dan Renville, yang dianggap Acoma sebagai tindakan “melikuidasi kemerdekaan rakyat” karena membuat wilayah RI semakin sempit.

Acoma memandang PKI terlalu patuh pada keputusan yang merugikan dan hanya sibuk mencari pengaruh di masa revolusi fisik, sebuah langkah yang tidak disenangi Acoma yang juga berebut massa buruh dan tani.

Upaya Rekonsiliasi yang Gagal
Seiring bangkitnya PKI di bawah DN Aidit pasca-Peristiwa Madiun 1948, Acoma sempat khawatir dengan dominasi PKI yang semakin menguat di kalangan buruh dan tani.

Acoma kemudian berinisiatif menggelar Konferensi “Hajat Persatuan” di Yogyakarta (Oktober-Desember 1950) dan mengundang PKI. Tujuannya adalah menyatukan kembali kaum komunis yang tercerai-berai untuk mewujudkan cita-cita Komunis Internasional (Komintern).

Namun, ajakan persatuan itu ditolak mentah-mentah oleh PKI. Penolakan ini membuat Acoma semakin menarik garis tegas. Acoma menyebut PKI sebagai partai “penuh kepalsuan” dan “bersiasat licik” yang melupakan pertentangan kelas sebagai dasar perjuangan.

Pada 8 Agustus 1952, Acoma pun resmi bertransformasi menjadi partai politik, Angkatan Communis Indonesia (tetap disingkat Acoma), dengan kantor pusat di Jalan Kasin Kulon (kini Brigjend Katamso), Malang.

Simbol Semar dan Program ‘Awang-awang’
Sebagai simbol perlawanan dan identitas, Acoma memilih gambar Semar sebagai tanda gambar partai untuk Pemilu 1955. Semar dipilih karena melambangkan sosok pembela kebenaran, jujur, berani, dan lebih mengutamakan prinsip – sebuah sindiran telak terhadap PKI.

Program kerja Acoma pun sangat radikal: mewujudkan pemerintahan rakyat yang anti-imperialisme, merebut semua sumber daya dari modal asing, dan melenyapkan basis militer penjajah.

Bahkan, salah satu program paling mencolok adalah “melenyapkan kelas tuan tanah dan kedudukan raja/sultan, serta penghapusan swapraja.” Program-program ini dianggap sangat prestisius, namun di kemudian hari terbukti ‘awang-awang’ dan sulit menyentuh realitas rakyat.

Kalah Telak di Kandang Sendiri
Meski memiliki garis ideologi yang tegas, nasib Acoma di panggung politik sangat tragis. Pada Pemilu 1955, Acoma hanya meraih 64.514 suara nasional (0,17%) dan mendapat 1 kursi DPR.

Ironisnya, di Pemilu lokal 1957, Acoma bahkan tidak mendapatkan satu pun kursi DPRD di ‘kandangnya’ sendiri, Kota Malang. Sang rival, PKI, justru menguasai kota itu dengan memenangkan 12 dari 27 kursi (44,4%).

Program PKI melalui Departemen Agitasi dan Propaganda (Depagitprop) yang konsisten dan membumi terbukti jauh lebih menarik bagi rakyat Malang. Sementara program Acoma gagal membumi.

Seperti halnya PKI, riwayat Acoma berakhir tragis pasca-peristiwa 30 September 1965. Sang ketua umum, Ibnu Parna, turut tewas dalam gelombang pembunuhan di tahun-tahun kelam tersebut, dan partai ini pun lenyap dari panggung sejarah. (Mun)

TRENDING