Connect with us

Berita

Karena Hambat Hak Publik Atas Informasi, LBH Pers Usul Pasal 26 UU ITE Dihapus

AKTUALITAS.ID – Anggota Koalisi Serius Revisi UU ITE sekaligus Direktur Eksekutif LBH Pers, Ade Wahyudin meminta penghapusan Pasal 26 dalam Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Ade menerangkan, pasal itu dianggap cenderung menghambat hak asasi manusia. Utamanya terkait dengan hak atas informasi, hak atas kebebasan berekspresi, dan hak berpendapat. “Kami […]

Published

on

AKTUALITAS.ID – Anggota Koalisi Serius Revisi UU ITE sekaligus Direktur Eksekutif LBH Pers, Ade Wahyudin meminta penghapusan Pasal 26 dalam Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Ade menerangkan, pasal itu dianggap cenderung menghambat hak asasi manusia. Utamanya terkait dengan hak atas informasi, hak atas kebebasan berekspresi, dan hak berpendapat.

“Kami mengusulkan pasal 26 ini dihapuskan dari UU ITE, kemudian dipindahkan pembahasannya ke dalam RUU Perlindungan Data Pribadi (PDP). Karena kita tahu saat ini pemerintah beserta DPR sedang menggodok RUU PDP,” ujarnya dalam sebuah webinar pada Kamis (29/4/2021).

Menurut Ade, pasal 26 itu tujuannya melindungi data pribadi masyarakat. Namun saat revisi pada 2016, kata Ade, muncul pasal 26 ayat 3 yang cenderung multitafsir dan menghambat pemenuhan hak masyarakat atas informasi.

“Kalau kita cek di pasal 26 ayat 3, di situ disebutkan ‘setiap penyelenggara sistem elektronik wajib menghapus informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan orang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan,” ujarnya.

Pasal Multitafsir

Ade mengatakan bahwa pasal tersebut bisa dibilang pasal multitafsir. Di mana kata “informasi tidak relevan” di pasal itu tidak memiliki penjelasan lebih detail.

Dia memandang, ketidakjelasan frasa itu dapat membuat informasi apapun yang ada di ruang maya bisa dihapuskan. Adanya pasal ini, lanjut Ade ditakutkan digunakan oleh para pelanggar HAM untuk menghapus informasi negatif mereka yang tersebar di internet.

“Dan itu sangat mungkin dimintakan penghapusannya. Karena terkait dengan informasi yang diduga pelaku-pelaku pelanggaran HAM,” paparnya.

Masalah lain dari pasal ini juga terkait kalimat “berdasarkan penetapan pengadilan”. Menurut Ade, frasa ini membuat pasal 26 menjadi rancu.

“Karena ketika kita menggunakan mekanisme permohonan atau pun penetapan pengadilan tentu saja ini hanya ada satu pihak. Misalnya hanya ada pemohon dengan pengadilan, layaknya permohonan perubahan nama,” papar Ade.

Padahal dalam konteks penghapusan informasi di internet terdapat beberapa pihak yang terlibat. Misalnya penyelenggara sistem elektronik.

“Website A dia mengunggah suatu informasi yang dianggap itu informasi tidak relevan. Kemudian si pemilik data pribadi yang merasa tersinggung, ya setidaknya ada dua pihak,” ujar Ade.

Akan tetapi dalam mekanisme yang disediakan dalam pasal 26 hanya penetapan pengadilan, yakni hanya pemohon dan pengadilan saja.

“Ini sangat tidak tepat dan sangat merugikan masyarakat,” pungkasnya.

Dengan begitu, lanjut Ade, pasal 26 menutup ruang bagi publik atau penyelenggara sistem elektronik untuk membela terhadap apa yang mereka publikasikan.

“Karena ruangnya ditutup lewat penetapan itu,” pungkasnya.

OASE

INFOGRAFIS

WARGANET

Trending