Berita
Kisah Rasulullah SAW dan Anak Yatim di Hari Raya Idul Fitri
Di suatu hari raya, Rasulullah SAW keluar rumah untuk melaksanakan salat Idul Fitri. Sementara anak-anak kecil tengah bermain riang gembira di jalanan, tampak seorang anak kecil duduk menjauh berseberangan dengan mereka. Dengan pakaian sangat sederhana dan tampak murung, ia menangis tersedu. Melihat fenomena ini Rasulullah segera menghampiri anak tersebut. “Nak, mengapa kau menangis? Kau tidak […]
Di suatu hari raya, Rasulullah SAW keluar rumah untuk melaksanakan salat Idul Fitri. Sementara anak-anak kecil tengah bermain riang gembira di jalanan, tampak seorang anak kecil duduk menjauh berseberangan dengan mereka. Dengan pakaian sangat sederhana dan tampak murung, ia menangis tersedu.
Melihat fenomena ini Rasulullah segera menghampiri anak tersebut. “Nak, mengapa kau menangis? Kau tidak bermain bersama mereka?” Rasulullah membuka percakapan.
Anak kecil yang tidak mengenali bahwa orang dewasa di hadapannya adalah Rasulullah menjawab, “Paman, ayahku telah wafat. Ia mengikuti Rasulullah dalam menghadapi musuh di sebuah pertempuran. Tetapi ia gugur dalam medan perang tersebut.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terus mengikuti cerita anak yang murung tersebut. Sambil meraba ke mana ujung cerita, Nabi mendengarkan dengan seksama rangkaian peristiwa dan nasib malang yang menimpa anak tersebut.
“Ibuku menikah lagi. Ia memakan warisanku, peninggalan ayah. Sedangkan suaminya mengusirku dari rumahku sendiri. Kini aku tak memiliki apa pun. Makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal. Aku bukan siapa-siapa. Tetapi hari ini, aku melihat teman-teman sebayaku merayakan hari raya bersama ayah mereka. Dan perasaanku dikuasai oleh nasib kehampaan tanpa ayah. Untuk itulah aku menangis.”
Mendengar penuturan ini, batin Rasulullah terenyuh. Ternyata ada anak-anak yatim dari sahabat yang gugur membela agama dan Rasulnya di medan perang mengalami nasib malang begini.
Rasulullah segera menguasai diri. Rasul yang duduk berhadapan dengan anak ini segera menggenggam lengannya.
Nak, dengarkan baik-baik. Apakah kau sudi bila aku menjadi ayah, Aisyah menjadi ibumu, Ali sebagai paman, Hasan dan Husein sebagai saudara, dan Fatimah sebagai saudarimu?” tanya Rasulullah.
Mendengar tawaran itu, anak ini mengerti seketika bahwa orang dewasa di hadapannya tidak lain adalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. “Kenapa tak sudi, ya Rasulullah?” jawab anak ini dengan senyum terbuka.
Rasulullah kemudian membawa anak angkatnya pulang ke rumah. Di sana anak ini diberikan pakaian terbaik. Ia dipersilakan makan hingga kenyang. Penampilannya diperhatikan lalu diberikan wangi-wangian. Setelah beres semuanya, ia pun keluar dari rumah Rasulullah dengan senyum dan wajah bahagia. Melihat perubahan drastis pada anak ini, para sahabatnya bertanya.
“Sebelum ini kau menangis. Tetapi kini kau tampak sangat gembira?” “Benar sahabatku. Tadinya aku lapar, tetapi lihatlah, sekarang tidak lagi. Aku sudah kenyang. Dulunya aku memang tidak berpakaian, tetapi kini lihatlah. Sekarang aku mengenakan pakaian bagus. Dulu memang aku ini yatim, tetapi sekarang aku memiliki keluarga yang sangat perhatian. Rasulullah SAW ayahku, Aisyah ibuku, Hasan dan Husein saudaraku, Ali pamanku, dan Fatimah adalah saudariku. Apakah aku tidak bahagia?.”
Mendengar sahabatnya, mereka tampak menginginkan nasib serupa. “Aduh, cobalah ayah kita juga gugur pada peperangan itu sehingga kita juga diangkat sebagai anak oleh Rasulullah SAW.”
Waktu terus berjalan. Usia semakin bertambah. Kebahagiaan anak ini pun lenyap ketika selang beberapa tahun setelah itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meninggal dunia.
Meratapi kepergian ayah angkat paling mulia ini, ia keluar rumah seraya menaburkan debu di atas kepalanya. “Celaka, sungguh celaka. Kini aku kembali terasing. Aku bukan siapa-siapa lagi. Aku kini menjadi yatim. Sepi,” katanya terisak.
Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq yang menyaksikan anak ini segera memeluknya. Sayyidina Abu Bakar kemudian mengambil alih pengasuhannya.
Kisah ini dikutip dari Durratun Nashihin karya Syekh Usman bin Hasan bin Ahmad Syakir Al-Khubawi, tanpa tahun, Surabaya, Syirkah Ahmad bin Saad bin Nabhan wa Auladuh, halaman 264-265.
(Disadur dari NU Online)
- Multimedia19 jam lalu
FOTO: Denny JA Lantik 11 Duta Puisi Esai
- POLITIK22 jam lalu
Sandiaga Uno Tegaskan Masih Nunggu Hasil Putusan Mukernas PPP soal Posisi Ketua Umum
- Nusantara20 jam lalu
Pemilik Kendaraan Bermotor Siap Menghadapi Dua Pajak Baru Mulai Januari 2025
- POLITIK24 jam lalu
Pramono Anung Janji Akusisi Program Kandidat Lain untuk Membangun Jakarta
- POLITIK21 jam lalu
PKB Ajukan Gus Dur Jadi Pahlawan Nasional, Cak Imin: Waktunya Dikenang
- Multimedia3 jam lalu
FOTO: Denny JA Serahkan Puisi Esai Awards 2024 Kepada Datuk Jasni Maltani
- Ragam7 jam lalu
Opini Denny JA: Memperbincangkan Angkatan Puisi Esai
- Jabodetabek21 jam lalu
Seorang Bocah 2 Tahun Hanyut di Sungai Ciliwung Bogor Saat Bermain