Connect with us

OASE

Agar Ibadah Sah, Perhatikan Rukun Khutbah Jumat yang Wajib Dipenuhi

Aktualitas.id -

Ilustrasi khutbah Salat Jumat (Foto : Pinterest)

AKTUALITAS.ID – Hari Jumat sering disebut sebagai sayyidul ayyam, hari yang paling mulia dalam sepekan. Salah satu ibadah yang menjadikan hari ini istimewa adalah shalat Jumat.

Tapi perlu diingat, shalat Jumat tidak hanya sekadar shalat dua rakaat yang berjamaah, melainkan harus diawali dengan khutbah. Nah, di sinilah letak pentingnya memahami rukun khutbah Jumat.

Islam memberikan ketentuan dari ibadah yang telah diwajibkan. Dan agar ibadah yang dikerjakan diterima, maka hal yang mendesak adalah mengetahui ketentuan dari ibadah yang dikerjakan.

Salah satu syarat sah pelaksanaan shalat Jumat adalah didahului dua khutbah. Ritual khutbah dilakukan sebelum shalat Jumat dikerjakan. Khutbah Jumat dilakukan 2 kali, di antara khutbah pertama dan kedua dipisah dengan duduk.    Khutbah Jumat memiliki 5 rukun yang harus dipenuhi. Sejumlah rukun tersebut disyaratkan menggunakan bahasa Arab dan harus dilakukan dengan tertib (berurutan) serta berkesinambungan (muwâlah).

Khutbah Jumat bukan sekadar pengantar sebelum shalat, melainkan syarat sah dari shalat Jumat itu sendiri. Rasulullah SAW secara konsisten melaksanakan khutbah setiap kali menunaikan shalat Jumat.

Khutbah ini disampaikan dua kali secara berturut-turut, dipisahkan dengan duduk sebentar, dan disampaikan dalam bahasa Arab.

Jadi, siapa pun yang menjadi khatib wajib memahami bahwa khutbah bukan ruang bebas untuk berbicara apa saja, melainkan bagian ibadah dengan aturan yang jelas.

Lima Rukun Khutbah Jumat yang Wajib Dipenuhi

Lima rukun khutbah ini menjadi inti yang tidak boleh ditinggalkan. Mari kita bahas satu per satu agar lebih jelas.

1. Memuji kepada Allah di kedua khutbah  Rukun khutbah pertama ini disyaratkan menggunakan kata “hamdun” dan lafadh-lafadh yang satu akar kata dengannya, misalkan “alhamdu”, “ahmadu”, “nahmadu”. Demikian pula dalam kata “Allah” tertentu menggunakan lafadh jalalah, tidak cukup memakai asma Allah yang lain. Contoh pelafalan yang benar misalkan: “alhamdu lillâh”, “nahmadu lillâh”, “lillahi al-hamdu”, “ana hamidu Allâha”, “Allâha ahmadu”.

Contoh pelafalan yang salah misalkan: “asy-syukru lillâhi” (karena tidak memakai akar kata “hamdun”), “alhamdu lir-rahmân (karena tidak menggunakan lafadh jalalah “Allah”). Syekh Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan:   

 ويشترط كونه بلفظ الله ولفظ حمد وما اشتق منه كالحمد لله أو أحمد الله أو الله أحمد أو لله الحمد أو أنا حامد لله فخرج الحمد للرحمن والشكر لله ونحوهما فلا يكفي 

Artinya: Disyaratkan adanya pujian kepada Allah menggunakan kata Allah dan lafadh hamdun atau lafadh-lafadh yang satu akar kata dengannya. Seperti alhamdulillah, ahmadu-Llâha, Allâha ahmadu, Lillâhi al-hamdu, ana hamidun lillâhi, tidak cukup al-hamdu lirrahmân, asy-syukru lillâhi, dan sejenisnya, maka tidak mencukupi. (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, Al-Minhaj al-Qawim Hamisy Hasyiyah al-Turmusi, Jedah, Dar al-Minhaj, 2011, juz.4, halaman: 246).

2. Membaca Shalawat kepada Nabi Muhammad SAW

Setelah hamdalah, rukun berikutnya adalah membaca shalawat kepada Nabi Muhammad SAW. Shalawat bisa berupa bacaan sederhana, seperti “Allahumma shalli ‘ala Muhammad” atau yang lebih panjang.

Shalawat ini menjadi pengingat bahwa risalah Rasulullah adalah cahaya yang membimbing umat. Dengan membaca shalawat, khutbah juga menjadi sarana mempererat hubungan cinta kepada Nabi.

Contoh membaca shalawat yang salah: “sallama-Llâhu ‘ala Muhammad”, “Rahima-Llâhu Muhammadan (karena tidak menggunakan akar kata ash-shalâtu), “shalla-Llâhu ‘alaihi” (karena menggunakan isim dlamir).  Syekh Mahfuzh al-Tarmasi mengatakan:     ويتعين صيغتها

اي مادة الصلاة مع اسم ظاهر من أسماء النبي صلى الله عليه وسلم

Artinya: Shighatnya membaca shalawat Nabi tertentu, yaitu komponen kata yang berupa as-shalâtu beserta isim dhahir dari beberapa asma Nabi Muhammad shallahu ‘alaihi wasallama. (Syekh Mahfuzh al-Tarmasi, Hasyiyah al-Turmusi, Jedah, Dar al-Minhaj, 2011, juz.4, halaman: 248). 

Ikhtilaf ulama mengenai keabsahan membaca shalawat Nabi dengan kata ganti (isim dlamir) dijelaskan Syekh Mahfuzh al-Tarmasi sebagai berikut:   

فخرج سلم الله على محمد ورحم الله محمدا وصلى الله عليه فلا يكفي على المعتمد خلافا لمن وهم فيه وإن تقدم له ذكر يرجع إليه الضمير (قوله فلا يكفي على المعتمد) أي وفاقا لشيخ الإسلام والخطيب والرملي وغيرهم (قوله خلافا لمن وهم فيه) أي فقالوا بإجزاء ذلك وهم جماعة من متأخري علماء اليمن منهم الشهاب أحمد بن محمد الناشري والحسين بن عبد الرحمن الأهدل  

Artinya: Mengecualikan sallama-Llâhu ‘alâ Muhammad, rahima-Llâhu Muhammadan dan shallâhu ‘alaihi, maka yang terakhir ini tidak mencukupi menurut pendapat al-mu’tamad (kuat), berbeda dari ulama yang menilai cukup, meskipun didahului marji’nya dlamir. Pendapat al-mu’tamad tersebut senada dengan pendapatnya Syaikhul Islam Zakariyya al-Anshari, Syekh al-Khathib, Syekh al-Ramli dan lain sebagainya. Sedangkan pendapat lemah yang mencukupkan penyebutan dlamir adalah pendapat sekelompok ulama Yaman, di antaranya Syekh Ahmad bin Muhammad al-Nasyiri dan Syekh Husain bin Abdurrahman al-Ahdal. (Syekh Mahfuzh al-Tarmasi, Hasyiyah al-Turmusi, Jedah, Dar al-Minhaj, 2011 M, juz IV, halaman: 249).

3. Membaca Wasiat Taqwa (Nasehat untuk Takwa kepada Allah)

Inilah bagian inti khutbah, yaitu wasiat takwa. Khatib wajib mengajak jamaah untuk bertakwa kepada Allah SWT, biasanya dengan kalimat “Ushikum wa nafsi bitaqwallah” (Aku berwasiat kepada kalian dan diriku untuk bertakwa kepada Allah).

Mengapa wasiat takwa jadi inti? Karena khutbah Jumat adalah momen untuk mengingatkan kembali umat agar menjaga hubungan dengan Allah dalam keseharian. Nasehat singkat ini sesungguhnya mengandung makna yang dalam.

Tidak cukup sebatas mengingatkan dari tipu daya dunia, tanpa ada pesan mengajak ketaatan atau menjauhi kemaksiatan. Hal ini sebagaimana dijelaskan Syekh Ibrahim al-Bajuri:    

ثم الوصية بالتقوى ولا يتعين لفظها على الصحيح (قوله ثم الوصية بالتقوى) ظاهره أنه لا بد من الجمع بين الحث على الطاعة والزجر عن المعصية لأن التقوى امتثال الأوامر واجتناب النواهي وليس كذلك بل يكفي أحدهما على كلام ابن حجر …الى ان قال… ولا يكفي مجرد التحذير من الدنيا وغرورها اتفاقا 

Artinya: Kemudian berwasiat ketakwaan. Tidak ada ketentuan khusus dalam redaksinya menurut pendapat yang shahih. Ucapan Syekh Ibnu Qasim ini kelihatannya mengharuskan berkumpul antara seruan taat dan himbauan menghindari makshiat, sebab takwa adalah mematuhi perintah dan menjauhi larangan, namun sebenarnya tidak demikian kesimpulannya. Akan tetapi cukup menyampaikan salah satu dari keduanya sesuai pendapatnya Syekh Ibnu Hajar. Tidak cukup sebatas menghindarkan dari dunia dan segala tipu dayanya menurut kesepakatan ulama. (Syekh Ibrahim al-bajuri, Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Ibni Qasim, Kediri, Ponpes Fathul Ulum, tanpa tahun, juz.1, halaman: 218-219).  

4. Membaca Sepenggal Ayat Al-Qur’an

Rukun berikutnya adalah membaca ayat Al-Qur’an dalam khutbah. Ayat yang dibacakan tidak harus panjang, bisa berupa satu ayat pendek yang sesuai dengan tema khutbah.

Misalnya ayat tentang takwa dalam QS. Al-Hasyr: 18:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Dengan membaca ayat, khutbah mendapat landasan yang kokoh dari kalam Allah SWT.

5. Membaca Doa untuk Kaum Muslimin dan Muslimat

Rukun terakhir adalah membaca doa bagi kaum Muslimin dan Muslimat. Doa ini biasanya diletakkan di akhir khutbah kedua. Kalimat doa bisa sederhana, seperti:

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ

“Ya Allah, ampunilah kaum Muslimin dan Muslimat, Mukminin dan Mukminat, baik yang masih hidup maupun yang telah wafat.”

Doa ini menutup khutbah dengan nuansa kebaikan dan menjadi bentuk kepedulian kolektif umat Islam terhadap sesama.

Demikian penjelasan seputar rukun khutbah Jumat, dengan harapan menjadi perhatian semua kalangan demi sahnya ibadah yang dikerjakan. Utamanya para khatib harus memperhatikan ini karena kebanyakan takmir masjid dan jamaah kurang memiliki pengetahuan masalah rukun khutbah. Jangan sampai akibat kelalaian khatib, ibadah shalat Jumat menjadi tidak sah. 

(Goeh Wndh)

Continue Reading

TRENDING