RAGAM
Catatan Pinggir Tentang Djamila: Wajah Perlawanan dari Afrika Utara
AKTUALITAS.ID – Dalam lembaran sejarah perjuangan kemerdekaan negara-negara Dunia Ketiga, beberapa nama menonjol sebagai simbol nasionalisme. Di tengah riuhnya revolusi yang sering didominasi figur pria, Djamila Bouhired muncul sebagai nyala api yang tak padam. Ia bukan sekadar pejuang kemerdekaan Aljazair, melainkan representasi suara kaum perempuan yang disiksa, semangat yang ditindas, dan nama yang pernah divonis mati namun tak pernah bisa terkubur.
Sejarah besar Djamila dimulai pada tahun 1935 di Kasbah, Aljir, sebuah kawasan padat yang sarat kehidupan dan nasionalisme yang membara. Di sinilah penjajahan Prancis berusaha mengganti identitas rakyat menjadi ‘subjek’ imperium, bahkan memaksa anak-anak menyebut Prancis sebagai “ibu mereka”. Namun, Djamila kecil menolak, dengan lantang menyatakan kepada gurunya, “Aljazair adalah ibu kami.” Kalimat sederhana ini mengandung ledakan masa depan, sebuah deklarasi awal bahwa tubuhnya adalah milik tanah air, bukan milik kekuasaan asing.
Kehilangan pamannya, Mustafa Bouhired, seorang pejuang FLN yang ditembak mati oleh pasukan Prancis, bukannya membuat Djamila gentar. Kematian itu justru menjadi kompas hidupnya. Ia kemudian bergabung dengan Front de Libération Nationale (FLN) bukan sebagai simbol, melainkan sebagai agen aktif. Djamila mengemban tugas mengangkut pesan rahasia, menyusup ke pos militer, dan menjadi bagian dari unit operasi bawah tanah, menyembunyikan identitas pejuangnya di balik wajah gadis biasa.
Dalam salah satu operasi, Djamila tertangkap. Ia tertembak, dibawa ke rumah sakit militer, dan disiksa secara sistematis dengan setrum listrik, pemukulan, pelecehan, dan ancaman pembunuhan bentuk kejahatan yang sering menimpa perempuan dalam perang kolonial. Namun, yang mengejutkan militer Prancis adalah ketegaran gadis muda itu. Ia tidak membuka suara, tidak menyebutkan satu nama pun, dan tidak mengkhianati satu alamat pun, bahkan di bawah penderitaan terberat, demi melindungi rekan-rekan seperjuangannya.
Pada tahun 1957, Djamila diadili. Dengan luka di sekujur tubuh, ia berdiri di pengadilan militer Prancis. Wajahnya pucat, bajunya kumal, namun matanya memancarkan semangat. Ketika vonis hukuman mati dijatuhkan, Djamila menjawab dengan kalimat yang mengguncang dunia: “Kalian bisa membunuh tubuhku, tapi semangat kami akan hidup dalam tanah ini. Kalian bisa mengubur kami, tapi kalian tak bisa mengubur kebebasan yang sedang tumbuh.”
Kata-kata Djamila bergema ke seluruh dunia. Dari Kairo hingga Karachi, dari Jakarta hingga Paris, gelombang solidaritas muncul. Poster Djamila terpampang di kampus-kampus, petisi dikirim ke pemerintah Prancis. Di Indonesia, Rosihan Anwar menulis tentangnya, dan Mochtar Embut menciptakan lagu berjudul “Djamila” yang dipentaskan di forum Asia-Afrika.
Perjuangan Djamila sejalan dengan semangat Konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955, di mana Presiden Soekarno menyerukan akhir kolonialisme. Bung Karno sering menyebut nama Djamila dalam pidato-pidato internasionalnya, dan kelak, nama Soekarno diabadikan sebagai jalan utama di Algiers, melambangkan persaudaraan dua bangsa yang menolak penjajahan.
Tekanan internasional yang besar akhirnya mengubah vonis mati Djamila menjadi penjara seumur hidup. Namun, penjara tidak mampu mengurung keteguhan hatinya. Di balik jeruji, ia membaca, menulis, dan menanti waktu kemerdekaan. Pada tahun 1962, Aljazair merdeka, dan Djamila dibebaskan. Ia keluar dari penjara bukan sebagai pecundang, melainkan sebagai ibu spiritual republik yang baru lahir.
Bagi kebanyakan revolusioner, perjuangan berhenti setelah negara merdeka. Namun, tidak bagi Djamila. Pada tahun 2019, di usia 84 tahun, ia kembali turun ke jalan, kali ini melawan pemerintahan korup di negaranya sendiri. Ia berjalan tertatih, namun wajahnya tetap penuh tekad, menunjukkan bahwa kemerdekaan baginya bukan hanya soal bendera, melainkan menjaga martabat rakyat setiap hari.
Djamila Bouhired bukan hanya tokoh sejarah, melainkan pengingat bahwa revolusi sejati lahir dari cinta, bukan kebencian. Ia membuktikan bahwa tubuh perempuan bukanlah untuk dipinggirkan dalam sejarah, melainkan bisa menjadi pusat api perubahan. Hari ini, di tengah isu kekerasan negara, penindasan ekonomi, dan patriarki politik, nama Djamila tetap relevan, tidak sebagai kenangan, melainkan sebagai nyala yang tak pernah padam.
“Aku mungkin dipenjara, tapi semangatku tidak. Dan suatu hari, Aljazair akan bebas.” Ia benar. Dan karena itu, dunia masih menyebut namanya dengan hormat, berharap keberaniannya menular.(Mun)
-
OTOTEK24/11/2025 12:30 WIBWaspada! 15 Aplikasi Berbahaya yang Dapat Mencuri Data Pribadi dan Informasi Finansial
-
EKBIS24/11/2025 08:30 WIBPertamina Umumkan Harga BBM Terbaru 24 November 2025: Cek di Sini
-
JABODETABEK24/11/2025 05:30 WIBBMKG: Cuaca Jakarta pada 24 November 2025 Cenderung Berawan
-
EKBIS24/11/2025 10:00 WIBNilai Tukar Rupiah Melemah di Senin Pagi, Dolar AS Menguat
-
EKBIS24/11/2025 11:30 WIBEmas Antam Turun Harga, Berikut Harga Emas Batangan Terbaru
-
JABODETABEK24/11/2025 07:30 WIBPelayanan SIM Keliling di Jakarta: 5 Titik Lokasi yang Bisa Dikunjungi
-
EKBIS24/11/2025 09:31 WIBPasar Saham Asia-Pasifik Menguat, IHSG Naik 0,52% di Awal Pekan
-
POLITIK24/11/2025 07:00 WIBDKPP Ungkap KPU dan Bawaslu Kerap Belum Optimal Tangani Politik Uang

















