RAGAM
Bukan Cuma Ilusi, Pakaian Hantu Ternyata Cerminkan Moralitas dan Kelas Sosial di Masa Lalu
AKTUALITAS.ID – Saat Anda membayangkan hantu, bayangan sosok berbalut kain kafan atau gaun kuno pasti langsung terlintas. Namun, pernahkah terlintas di benak, mengapa hantu tidak pernah telanjang? Pertanyaan ganjil ini ternyata pernah menjadi bahan perenungan serius bagi masyarakat Inggris di Era Victoria.
Menurut artikel dari The Conversation yang terbit pada 25 Oktober 2024, misteri di balik pakaian hantu ini pernah disinggung oleh karikaturis ternama, George Cruikshank, pada tahun 1863. Cruikshank, yang dikenal melalui karyanya bersama Charles Dickens, membuat “penemuan” yang cukup aneh.
“Rasanya belum pernah ada yang memikirkan absurditas dan ketidakmungkinan adanya hantu berpakaian… Demi kesopanan, hantu tidak bisa, tidak boleh, dan tidak berani muncul tanpa pakaian; dan karena tidak ada hantu atau roh berpakaian, lalu mengapa, tampaknya hantu tidak pernah muncul dan tidak akan pernah bisa muncul,” ujar Cruikshank.
Cerminan Moralitas dan Status Sosial
Pada masa lampau, khususnya sebelum periode modern, citra hantu berbalut kain kafan mencerminkan kesinambungan antara jasad yang dikubur dan roh yang bangkit. Pakaian pemakaman menjadi masuk akal karena peran utama hantu adalah membawa pesan dari alam baka kepada yang hidup.
Namun, seiring menyebarnya spiritualisme pada pertengahan abad ke-19, laporan penampakan mulai berubah. Orang-orang mulai melihat hantu yang mengenakan pakaian sehari-hari dan kontemporer.
Antropolog dan kritikus Andrew Lang, pada tahun 1897, berpendapat bahwa pakaian hantu adalah bahan pembuat mimpi, yang secara tidak langsung menyiratkan bahwa para penampakan hantu adalah orang yang berpakaian, bukan yang telanjang.
Asumsi ini mencerminkan moralitas yang merajalela di abad ke-19, di mana sebagian besar roh digambarkan suci dan disucikan. Anggapan Lang yang ganjil bahwa tidak ada ketelanjangan dalam mimpi juga menggemakan pandangan moralitas ini.
Pakaian Sebagai Identitas Kelas
Lebih jauh, mode dan pakaian di Era Victoria memainkan peran krusial dalam identifikasi kelas, gender, dan pekerjaan.
Laporan hantu yang dikirimkan ke majalah The Strand pada tahun 1908 menunjukkan bahwa hantu dari kelas pelayan tampaknya lebih terikat pada pakaian mereka—bukan pada wajah atau suara. Ini menggarisbawahi fungsi pakaian: mengidentifikasi seseorang dan membuat mereka dapat direpresentasikan.
Dengan demikian, ketelanjangan (atau ketiadaan pakaian) akan mengganggu cara pengkategorian seseorang secara instan, membuat penampakan hantu yang berpakaian menjadi kebutuhan sosial, bukan hanya fenomena gaib. (Mun)
-
RIAU05/12/2025 17:00 WIBPolda Riau Kirim Bantuan Gelombang Keempat untuk Penanganan Bencana di Sumatera, 3.459 Alat Kerja dikirim ke Aceh dan Sumbar
-
NUSANTARA05/12/2025 07:30 WIBTerungkap Motif Komplotan Begal Remaja di Indramayu
-
NASIONAL05/12/2025 11:00 WIBKalla Siap Layani Gugatan Baru GMTD di Kasus Sengketa Lahan
-
JABODETABEK05/12/2025 07:00 WIBDitlantas Polda Metro Jaya Siapkan Layanan SIM Keliling di Lima Lokasi Jakarta
-
JABODETABEK05/12/2025 10:30 WIBHingga Kamis Malam Sejumlah Lokasi di Jakarta Utara Masih Terendam Banjir Rob
-
POLITIK05/12/2025 09:00 WIBImbas Bencana di Sumatera Komisi IV DPR Bentuk Panja Alih Fungsi Lahan
-
EKBIS05/12/2025 14:30 WIBPelni Siapkan Sembilan Kapal untuk Hadapi Libur Nataru
-
NUSANTARA05/12/2025 13:30 WIBDiberlakukan Contraflow, Tol Medan–Kualanamu–Tebing Tinggi Dapat Dilintasi

















