Memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM) sedunia yang jatuh setiap 10 Desember, beberapa lembaga mencatat bahwa kinerja Indonesia terkait HAM selama 2019 masih jauh dari harapan.
Komisi Nasional (Komnas) HAM mencatat masih banyak yang perlu dilakukan pemerintah, terutama soal pelanggaran HAM berat di masa lalu dan penanganan konflik sumber daya alam (SDA).
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menyebut tahun ini demokrasi dibawa mundur jauh ke belakang dan kembalinya rezim otoritarian menjadi ancaman nyata yang terlihat dari ruang-ruang kebebasan sipil yang mulai ditutup.
Kami bertanya ke beberapa pakar tentang pandangan mereka terkait HAM
pada 2019. Mereka setuju bahwa walaupun 2019 terlihat suram, namun ada
beberapa perkembangan baik dan bisa menjadi harapan ke depannya.
Tahun kelam
Usman Hamid – Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera dan Direktur Amnesty International Indonesia
Tahun 2019 dapat dikatakan sebagai tahun yang kelam; banyak agenda
HAM mengalami kemacetan, mutu HAM pun mengalami kemunduran, dan bahkan
begitu banyak serangan terhadap para pembela HAM.
Hal ini ditunjukkan lewat beberapa hal. Pertama, tidak ada proses
keadilan dan akuntabilitas atas pelanggaran HAM yang dilakukan oleh
aparat keamanan. Kedua, menguatnya pembatasan kebebasan berekspresi dan
kebebasan beragama yang sewenang-wenang melalui aturan maupun praktik
kebijakan. Ketiga, diskriminasi berbasis gender yang mengakar serta
pelanggaran hak-hak perempuan yang diikuti oleh pernyataan pejabat yang
diskriminatif dan merendahkan martabat perempuan.
Keempat, kegagalan pemerintah dalam menghadirkan keadilan,
pengungkapan kebenaran, dan pemulihan untuk korban pelanggaran HAM masa
lalu. Kelima, pelanggaran HAM yang masih berlangsung bahkan meningkat
tajam di Papua. Dan keenam, berlanjutnya penjatuhan dan penerapan
hukuman kejam baik melalui vonis mati maupun juga tindakan-tindakan
eksekusi hukum di luar pengadilan, dengan cara tembak di tempat
misalnya.
Namun, kabar baik masih ada. Amnesty International mengakui bahwa
Indonesia terus melakukan beberapa langkah reformasi kunci guna
memastikan perlindungan HAM yang lebih baik, menegakkan supremasi hukum,
dan mereformasi sektor keamanan publik.
Misalnya, Indonesia telah meratifikasi hampir semua perjanjian HAM
internasional, dan masih terus terlihat berkomitmen untuk meratifikasi
konvensi lainnya meski belum terwujud. Salah satunya adalah konvensi PBB
untuk perlindungan semua orang dari penghilangan paksa.
Harapan juga terlihat dari kembalinya gerakan mahasiswa sebagai kontrol sosial atas jalannya kekuasaan negara. Di Bali, gerakan masyarakat masih kuat menolak reklamasi Teluk Benoa. Di Kendeng, Jawa Tengah, komunitas masyarakat pegunungan masih mampu mempertahankan tuntutannya di tengah tekanan dari segala penjuru – termasuk ancaman kriminalisasi dan kekerasan.
Bhinneka tapi bercanda
Asmin Fransiska – Dekan Fakultas Hukum di Universitas Katolik Atma Jaya
Saya sepakat atas temuan berbagai lembaga mengenai buruknya HAM di Indonesia.
Dua dekade pelembagaan pengadilan HAM melalui undang-undang tidak kunjung berhasil mengadili penjahat HAM.
Catatan penting muncul pada dorongan penyelesaian pelanggaran HAM
masa lalu melalui jalur rekonsiliasi. Rekonsiliasi tanpa pengungkapan
kebenaran akan sia-sia dan justru membuat pelanggaran HAM baru dengan
membuka jalur impunitas tanpa pengakuan atas terjadinya kejahatan.
Terkait situasi di Papua, terdapat dua kejahatan HAM yang telah diselesaikan penyelidikannya oleh Komnas HAM yaitu Kasus Wasior dan Wamena. Namun, hingga kini kasus tersebut berjalan di tempat tanpa kepastian penyelesaiannya.
Persoalan di Papua bukan sekadar sekelompok orang ingin merdeka, tapi
anggota suatu bangsa diperlakukan berbeda karena gaya hidup, tradisi,
serta warna kulit yang dianggap memiliki identitas sosial yang berbeda.
Rasisme sendiri dianggap tidak pernah menjadi masalah di Indonesia. Pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi Internasional Penghapusan Diskriminasi Rasial (ICERD) sejak tahun 1999, namun persoalan rasisme tetap disembunyikan.
Isu kemiskinan, ketidaksetaraan akses ekonomi, kesehatan dan
pendidikan menjadi tertutup dengan isu pemekaran daerah dan usaha
kemerdekaan. Prinsip HAM sangat jelas, yaitu tiada seorang pun yang
boleh dilanggar kemerdekaan dan kebebasannya serta diperlakukan
diskriminatif.
Melihat hanya pada isu kemerdekaan kelompok dan ketakutan atas
runtuhnya wilayah negara, tanpa melihat kewajiban negara atas HAM –
yaitu kemerdekaan dari kemiskinan dan pembodohan – sama saja memastikan
masalah yang sama sejak awal kemerdekaan terus ada.
Masyarakat sipil sebagai pilar penegakan HAM berperan penting. Salah satunya memastikan capaian indikator pemenuhan HAM terjadi, serta kritis terhadap kebijakan yang berdasarkan atas asumsi moralitas dan populisme semata tanpa data dan ilmu.
Represi lewat anti-radikalisme
Achmad Munjid – Pengajar di Departemen Antar Budaya, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM) dan peneliti senior di Center for Security and Peace Studies (CSPS) UGM
Ada berderet kasus intoleransi dan pelanggaran kebebasan beragama,
baik yang dilakukan oleh aktor bukan negara maupun oleh negara sendiri.
HAM tidak tampak menjadi prioritas penting pemerintahan Presiden Joko
“Jokowi” Widodo. Pemerintah Jokowi lebih banyak mengejar poin statistik
sebagai indikator prestasi dan HAM sulit masuk di situ.
Lihat bagaimana pemerintah mengangkat isu radikalisme. Isu ini
cenderung digunakan sebagai alat kekuasaan yang akhirnya banyak
melanggar HAM. Hukum dipakai untuk menekan, menguasai, dan mengontrol.
Yang berlaku bukan rule of the law, tapi rule by the law – hukum yang dipakai sebagai alat kekuasaan.
Surat Keputusan Bersama (SKB) 11 Menteri tentang penanganan radikalisme pada Aparatur Sipil Negara adalah contohnya. Di sana ada begitu banyak kategori yang kabur dan mudah sekali dipelintir untuk alat kekuasaan dan menyingkirkan siapa saja yang bersikap kritis dan tidak disukai penguasa.
Namun, meningkatnya pelanggaran HAM, termasuk terhadap kebebasan
beragama, juga telah menggugah keprihatinan dan tindakan nyata dari
masyarakat sipil.
Di Yogyakarta, maraknya pelanggaran kebebasan beragama – mulai perusakan makam, pelarangan warga non-Muslim untuk tinggal di suatu daerah, pelarangan upacara keagamaan, hingga pawai anti-puralisme – telah mendorong sebagian anggota masyarakat lain untuk bergerak dan mengorganisir diri untuk melawan.
Ada muncul kelompok-kelompok sipil, baru maupun lama, yang makin
mendapat banyak pengikut. Jaringan Gusdurian, misalnya, makin meluas di
kalangan anak-anak muda di seluruh Indonesia; juga ada Srikandi
lintas-iman yang jaringannya juga makin luas.
Yang perlu dilakukan oleh rakyat adalah terus menjaga sikap kritis,
baik terhadap sesama anggota masyarakat (khususnya anggota masyarakat
sipil-tapi-tidak-sipil seperti Front Pembela Islam dan semacamnya)
maupun terhadap pemerintah.
Sikap ini bisa dipelihara jika media memainkan peran sebagai pilar demokrasi dalam pengelolaan kebebasan berpendapat dan kita sebagai pembaca tidak mengkotak-kotakkan diri sehingga hanya mendapat informasi yang kita mau serta menutup diri dari fakta yang tak kita sukai.
Minoritas seksual (masih) didiskriminasi
Masthuriyah Sa’dan – Peneliti di Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS)
Pada 2016 dan 2017, teman-teman transgender mendapatkan kekerasan dan persekusi yang parah.
Tahun ini, Kejaksaan Agung mengeluarkan peraturan bahwa calon pegawai negeri sipil tidak boleh lesbian, gay, biseksual, transgender (LGBT). Itu sangat diskriminatif.
Saya melakukan studi dan pendampingan terhadap teman-teman transgender. Diskriminasi kepada mereka, bahkan ketika tidak ada larangan kerja tersebut saja sudah sangat besar.
Ada cerita kawan transgender yang bekerja menjadi Pegawai Negeri
Sipil (PNS) di Nusa Tenggara Timur, saat diketahui orientasi gendernya,
dia dirisak (bully) lalu keluar karena tidak tahan.
Di bulan Maret, pers Mahasiswa di Universitas Sumatra Utara (USU) dibubarkan karena menerbitkan tulisan yang mengangkat tentang diskriminasi yang dirasakan teman-teman LGBT.
Pada September, pasal-pasal dalam Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang memperparah diskriminasi terhadap komunitas LGBT hampir saja diloloskan kalau tidak dilawan dengan perjuangan bersama.
Pemerintah seharusnya melindungi; kebijakan yang dibuat harusnya
inklusif. Kita tidak selayaknya menilai seseorang berdasarkan orientasi
seksual. Itu menghilangkan hak bagi kelompok-kelompok marjinal – dalam
hal ini komunitas LGBT.
Padahal mereka itu hidup di Indonesia, dan komunitasnya lumayan
banyak. Kalau pemerintah benar-benar ingin mengamalkan “keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia”, jangan-jangan keadilan itu hanya untuk
sebagian kelompok saja?
Keadilan untuk komunitas LGBT bagaimana?
Tugas negara adalah mengakomodasi hak mereka. Tapi kita sebagai warga
negara bisa melakukan hal yang paling kecil yang kita bisa.
Sebagai masyarakat sipil, kita harus terus bergerak bersama untuk membantu melindungi mereka dan mengadvokasi hak mereka yang dimarjinalkan. [Sumber]