Ali bin Abi Thalib, Anak Pertama yang Masuk Islam


Ilustrasi Foto: Istimewa

Ali bin Abi Thalib sekitar 10 tahun usianya ketika ia memutuskan memeluk Islam. Kendati masih belia, keputusan besar itu diambil bukan karena kedekatannya dengan Nabi Muhammad SAW, melainkan lewat proses pencarian penuh pertanyaan.

Ali diketahui sangat dekat dengan Nabi Muhammad SAW yang tak lain adalah sepupunya sendiri. Ia kerap mengikuti ke manapun Muhammad pergi dan meniru kata-kata serta tindakannya.

Namun, ketika Muhammad ditunjuk sebagai utusan Allah, Ali tidak segera memeluk Islam hanya karena kedekatannya ataupun kebiasaannya meniru sang sepupu. Ia memilih memahami agama Islam itu terlebih dahulu.

Ali lahir di Makkah sekitar tahun 600 M. Ia adalah putra Abu Thalib, paman sekaligus pendukung setia Nabi Muhammad. Ketika kelaparan melanda Makkah, Muhammad membantu keluarga pamannya itu dengan membawa dan merawat Ali.

Oleh karena itu, Ali dibesarkan oleh Muhammad dan Khadijah seolah-olah ia adalah anak mereka sendiri. Ali berada di tengah-tengah keluarga itu ketika Muhammad menerima wahyu pertama.

Diyakini ia menyaksikan Muhammad dan Khadijah bersujud dalam doa dan bertanya tentang apa yang telah dilihatnya. Meskipun baru berusia 10 tahun, Ali sudah berpikir keras dan mengajukan banyak pertanyaan sebelum menerima Islam.

Melansir laman About Islam, Ahad (12/7), disebutkan Ali juga khawatir dengan reaksi keluarganya, terutama sang Ayah. Ketika seseorang hendak memeluk Islam, rasa khawatir semacam itu memang sering menghantui. Apakah ia akan kehilangan cinta dari keluarganya atau keluarganya bisa menerima.

Hal semacam itulah yang dirasakan Ali. Sebagaimana diketahui, Abu Thalib adalah pribadi yang menolak memeluk Islam. Beruntung, ia bisa menerima ketika Ali berkata bahwa Muhammad akan menuntunnya pada jalan kebenaran. Abu Thalib bahkan menasihati agar Ali tetap dekat dengan Muhammad.

Ali pun semakin gencar bertanya kepada Muhammad. Ia selalu berdiskusi ketika menemui suatu hal yang belum dipahami tentang agama baru tersebut.

Tak lama berselang, Ali akhirnya membaca dua kalimat syahadat. Walhasil, Ali menjadi anak pertama yang masuk Islam.

Suatu ketika, keberanian Ali dan kecintaannya pada Allah tampak langsung oleh Nabi Muhammad. Saat itu, Muhammad diperintahkan oleh Allah untuk menyampaikan pesan kepada kerabatnya.

Setelah mengundang mereka untuk makan malam, Nabi bertanya siapa yang akan bergabung dengannya di jalan Allah. Tak satu pun yang bersuara.

Adalah Ali, meski masih anak-anak, yang memecahkan keheningan dan menawarkan membantu Nabi Muhammad dengan cara apa pun yang dia bisa. Semua orang di ruangan makan malam itu tertawa mendengarnya.

Ali pun mengulangi tawarannya, berdiri tegak di hadapan tawa dan cemoohan. Di masa depan ia terus berdiri tegap berulang kali menunjukkan keberanian dan cintanya kepada Allah dan Nabi Muhammad.

Salah satu keberaniannya yang paling dikenang adalah ketika kaum kafir hendak membunuh Muhammad. Ali yang ketika itu berusia 22 tahun berani mempertaruhkan nyawanya.

Ia pura-pura menjadi Nabi dengan tidur di kasurnya agar Muhammad bisa berhijrah ke Madinah. Ketika para pembunuh memasuki rumah Muhammad dengan pedang, mereka terkejut dan kecewa hanya menemukan Ali. Ia pun tak disakiti.

Begitulah keberanian Ali dalam melindungi Muhammad. Ia tak hanya sepupu, anak angkat, dan teman dekat nabi, tapi juga kelak menjadi menantu Muhammad. Ali diketahui menikahi Fatimah, putri Nabi Muhammad.

Meski demikian, Ali sebenarnya lebih dikenal atas kerendahan hatinya, kesalehan, dan pengetahuannya yang mendalam tentang Alquran. Dia adalah seorang sarjana besar Islam dan sastra Arab, dan mempelopori bidang tata bahasa Arab.

slug . '" class="' . $tag->slug . '">' . $tag->name . ''; } } ?>