Connect with us

POLITIK

MK: UU Tipikor Perlu Direvisi untuk Meningkatkan Kepastian Hukum

Aktualitas.id -

Ilustrasi, Dok; aktualitas.id

AKTUALITAS.ID – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Meski demikian, MK meminta DPR dan pemerintah untuk mengkaji serta merumuskan ulang sejumlah norma dalam UU Tipikor, khususnya Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3.

Putusan tersebut dibacakan dalam sidang putusan MK di Jakarta Pusat, Rabu (17/12/2025). Gugatan diajukan oleh Syahril Japarin, Kukuh Kertasafari, dan Nur Alam.

“Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan.

Dalil Pemohon dan Pertimbangan MK

Dalam permohonannya, para pemohon mempersoalkan frasa “yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor. Mereka menilai frasa tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Namun, MK berpendapat bahwa kedua pasal tersebut tidak memerlukan pembuktian tambahan mengenai hubungan kausalitas secara terpisah antara perolehan keuntungan atau kekayaan dengan perbuatan melawan hukum. Menurut MK, kerugian keuangan negara atau perekonomian negara merupakan akibat langsung dari perbuatan melawan hukum.

Meski menolak gugatan, MK mengakui bahwa penerapan norma Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor kerap menimbulkan perdebatan. Norma tersebut dinilai berpotensi multitafsir dan menyebabkan ketidakkonsistenan aparat penegak hukum dalam menangani perkara tindak pidana korupsi.

Atas dasar itu, MK menegaskan tidak memiliki kewenangan untuk merumuskan norma sanksi pidana. Namun, MK mendorong pembentuk undang-undang untuk segera melakukan pengkajian menyeluruh.

Hakim Konstitusi Guntur Hamzah menyampaikan bahwa DPR dan pemerintah perlu memprioritaskan kajian ulang terhadap norma UU Tipikor tersebut.

“Pembentuk undang-undang segera melakukan pengkajian secara komprehensif norma Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor. Jika hasil kajian membutuhkan revisi atau perbaikan, maka hal tersebut dapat diposisikan sebagai prioritas,” ujar Guntur.

Ia juga menekankan agar setiap revisi dilakukan secara hati-hati dan matang agar tidak melemahkan politik hukum pemberantasan korupsi, yang selama ini diposisikan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime).

MK turut menyoroti pentingnya perumusan norma sanksi pidana yang lebih memberikan kepastian hukum, guna meminimalisasi potensi penyalahgunaan kewenangan dalam penegakan hukum korupsi.

Selain itu, MK meminta agar revisi UU Tipikor melibatkan partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation), dengan melibatkan berbagai kalangan yang memiliki perhatian terhadap agenda pemberantasan korupsi.

“Revisi atau perbaikan dimaksud harus melibatkan partisipasi semua kalangan yang concern terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi,” tegas Guntur.

Dengan putusan ini, MK menegaskan bahwa UU Tipikor tetap berlaku, namun membuka ruang bagi DPR dan pemerintah untuk melakukan perbaikan regulasi demi menciptakan kepastian hukum tanpa mengurangi semangat pemberantasan korupsi di Indonesia. (Mun)

TRENDING