Tuntut Reformasi Monarki, Polisi Thailand Tangkap Aktivis Pro Demokrasi


Kepolisian Thailand menangkap sejumlah aktivis terkemuka yang terlibat dalam gerakan pro-demokrasi, Kamis (20/8). Gerakan itu menuntut perombakan pemerintah dan menyerukan reformasi monarki.

Selama lebih dari sebulan terakhir, aksi unjuk rasa terjadi nyaris tiap hari di Thailand. Pada akhir pekan, sebanyak 200 ribu orang berunjuk rasa menyerukan kekecewaan mereka kepada pemerintah.

Para pengunjuk rasa menuding Pemerintah Thailand berpihak kepada militer dan mempertanyakan peran keluarga Kerajaan Thailand.

Pihak kepolisian Thailand telah menahan tiga aktivis kunci gerakan tersebut pada Rabu (19/8) malam dan kembali meringkus lima lainnya pada Kamis (20/8) pagi. Hingga saat ini, total sudah ada 11 aktivis yang ditangkap polisi.

“Mereka yang ditahan semua bergabung dalam protes pada 18 Juli,” kata Karoon Hosakul, seorang anggota parlemen dari partai oposisi Pheu Thai, dilansir dari AFP, Kamis (20/8).

“Mereka semua menghadapi delapan dakwaan, termasuk hasutan,” lanjutnya.

Penangkapan lima orang pada Kamis pagi itu termasuk dua rapper. Mereka adalah Dechatorn Bamrungmuang dari Rap Against Dictatorship (RAD) dan Thanayut Na Ayutthaya, lebih dikenal sebagai rapper “Elevenfinger”,

Kedua rapper tersebut diketahui tampil di atas panggung di acara unjuk rasa itu.

Pengadilan Thailand para Rabu (19/8) mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk enam aktivis pro-demokrasi yang terlibat dalam aksi unjuk rasa.

Dua dari surat perintah yang dikeluarkan itu adalah untuk pengunjuk rasa yang sebelumnya ditangkap dan dijamin, yakni pengacara hak asasi manusia Anon Numpa dan pemimpin mahasiswa Panupong Jadnok.

Mereka sekarang menghadapi dakwaan baru terkait unjuk rasa pada 10 Agustus di Universitas Thammasat. Anon adalah aktivis pertama yang secara terbuka membahas reformasi monarki pada aksi pada 3 Agustus.

Pertemuan Thammasat itu menarik sekitar 5.000 orang ketika Anon dan Panupong berbicara tentang monarki.

Para pengunjuk rasa selama berminggu-minggu secara gamblang mengkritik pemerintahan Perdana Menteri Prayut Chan-O-Cha, mantan panglima militer yang merebut kekuasaan dalam kudeta 2014.

Namun pada aksi Thammasat, pengunjuk rasa juga menuntut transparansi dan audit atas keuangan Istana.

Bukan hanya itu, mereka juga meminta penghapusan Undang-undang Pencemaran Nama Baik Kerajaan yang memicu kontroversi karena pelaku dapat dipenjara hingga 15 tahun.

Raja Thailand, Maha Vajiralongkorn diketahui didukung oleh militer kerajaan dan kelompok miliarder negara itu. Sejak naik takhta pada 2016 lalu, ia membuat beragam perubahan kontroversial.

Salah satunya, mengendalikan langsung atas kekayaan Istana Thailand yang diperkirakan bernilai hingga 60 miliar dolar atau setara Rp886 triliun.

Sejauh ini, tidak ada aktivis pro-demokrasi yang dituduh melakukan pencemaran nama baik, tetapi tuntutan mereka telah membuat marah pendukung pro-royalis dan memicu beberapa protes tandingan yang lebih kecil.

Gerakan ini telah menyebar ke sekolah-sekolah menengah di Thailand, dengan murid-murid mengikatkan pita putih di rambut mereka dan di ransel untuk menunjukkan solidaritas dengan perjuangan pro-demokrasi.

slug . '" class="' . $tag->slug . '">' . $tag->name . ''; } } ?>