DUNIA
Jejak Berdarah Tony Blair: Kandidat Pemimpin Transisi Gaza di Tengah Kontroversi Invasi Irak

AKTUALITAS.ID – Mantan Perdana Menteri Inggris, Tony Blair, kembali mencuat ke permukaan. Namanya disebut sebagai kandidat kuat untuk memimpin pemerintahan transisi di Jalur Gaza pasca-perang, sebuah proposal yang dikabarkan mendapat dukungan dari Gedung Putih. Rencana ini, menurut laporan BBC, akan menempatkan Blair di pucuk pimpinan sebuah badan transisi bernama Otoritas Transisi Internasional Gaza (Gita).
Gita akan berupaya mendapatkan mandat dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menjadi “otoritas politik dan hukum tertinggi” di Gaza selama lima tahun, sebelum mengembalikan kendali ke tangan Palestina.
Namun, rekam jejak Blair yang kontroversial memicu perdebatan. Ia dikenal karena keputusannya yang bersejarah, dan banyak dikritik, untuk bergabung dengan Amerika Serikat dalam invasi Irak tahun 2003.
Kontroversi di Balik Invasi Irak
Keputusan Tony Blair untuk berpartisipasi dalam invasi Irak 2003 menuai kritik luas. Alasan yang ia ajukan untuk berperang—bahwa rezim Saddam Hussein memiliki senjata pemusnah massal—terbukti tidak akurat.
Sebuah penyelidikan mendalam yang dikenal sebagai Laporan Chilcot pada tahun 2016 mengungkapkan memo dari Blair kepada Presiden AS George W. Bush yang berbunyi, “Saya akan bersama Anda, apa pun.” Laporan tersebut menyimpulkan bahwa Blair “memilih untuk bergabung dalam invasi ke Irak sebelum pilihan damai untuk perlucutan senjata telah habis.”
Invasi ini tidak hanya memicu kekacauan dan perang saudara di Irak yang masih terasa hingga kini, tetapi juga mengakibatkan ribuan kematian tentara AS dan Inggris, serta ratusan ribu warga Irak. Kritik terhadap Blair juga datang dari lembaga seperti Pengadilan Dunia untuk Irak (WTI), yang menuduh Blair “menyalahgunakan informasi intelijen” dan gagal menggunakan semua pilihan damai.
Rencana Blair dan Reaksi Internasional
Rencana yang diusung Gedung Putih ini dilihat sebagai jalan tengah antara proposal awal Donald Trump yang ingin AS dan Israel “mengambil alih” Gaza, dan Deklarasi New York yang didukung 140 negara yang mengusulkan pemerintahan teknokratis.
Namun, rencana ini menuai kekhawatiran karena tidak memiliki batas waktu yang jelas untuk transisi ke kendali Otoritas Palestina (PA). Hal ini dapat menjadi hambatan untuk mendapatkan dukungan dari para pemimpin Palestina dan Arab. Di sisi lain, kehadiran Blair mungkin dilihat sebagai jaminan bagi Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu.
Saat ini, Blair belum secara resmi menyetujui proposal tersebut. Kantornya menyatakan bahwa ia tidak akan mendukung rencana yang memaksa warga Gaza untuk mengungsi. Sebaliknya, proposal ini juga akan membentuk “Unit Pelestarian Hak Milik” untuk memastikan warga yang meninggalkan wilayah tersebut tetap memiliki hak untuk kembali.
Sementara itu, Presiden PA, Mahmoud Abbas, menegaskan Hamas tidak akan memiliki peran dalam pemerintahan Gaza pasca-perang dan menyatakan PA siap memikul tanggung jawab penuh untuk Gaza. (Mun)
-
FOTO26/09/2025 16:03 WIB
FOTO: Kerjasama Mentrans dan Menperin Kembangkan Industri di Kawasan Transmigrasi
-
JABODETABEK26/09/2025 13:30 WIB
Kombes Iman dan Kombes Edy Isi Jabatan Direktur Reserse Polda Metro
-
NUSANTARA26/09/2025 13:00 WIB
Dugaan Keracunan MBG yang Dialami Siswa SD, Diselidiki Pemkab Banyumas
-
POLITIK26/09/2025 14:30 WIB
DPR dan Pemerintah Setujui RUU BUMN, Berlanjut ke Paripurna
-
DUNIA26/09/2025 16:30 WIB
Trump Umumkan Tarif Baru untuk Obat, Truk, dan Furnitur
-
RAGAM26/09/2025 12:30 WIB
Cegah Iritasi, Hindari Pengunaan Bedak di Dekat Hidung Bayi
-
NASIONAL26/09/2025 14:00 WIB
Kementan Perkuat Tata Kelola Pupuk Subsidi, Pastikan Distribusi Tepat Sasaran
-
NASIONAL26/09/2025 20:00 WIB
Golkar: Program Makan Bergizi Gratis Jangan Dihentikan, tapi Dibenahi!