AKTUALITAS.ID – Model literasi yang mengabaikan konteks sosial dan budaya Indonesia dapat membuat upaya pembelajaran di masyarakat menjadi tidak tepat sasaran. Selain itu, bila literasi didefinisikan dengan minimalis, maka akan kurang memberikan manfaat yang luas.
Literasi umumnya dipahami sebagai kemampuan kognitif untuk membaca
dan menulis. Pengertian konsep literasi kemudian berkembang, misalnya
dengan mengikutsertakan kemampuan berbicara secara lisan (oral) dan
menghitung.
Lebih jauh para ilmuwan telah memasukkan unsur kemampuan untuk mengakses informasi dan pengetahuan dalam definisi literasi. Namun, mendefinisikan literasi hanya berbasis pada kemampuan (skill) masih mengandung kekurangan.
Literasi kemudian juga dikatakan sebagai sesuatu yang diterapkan (applied), sebuah praksis dan merupakan hal yang disituasikan (situated). Proses belajar misalnya, dapat dikatakan sebagai bagian dari literasi.
Pertanyaannya, apakah literasi yang selama ini kita mengerti dan
pahami sebenarnya sudah kontekstual dan cukup bermanfaat bagi
pembangunan sosial masyarakat luas?
Keragaman pengertian literasi
Berdasarkan studi yang dilakukan UNESCO, terdapat keragaman pengertian literasi. UNESCO bahkan mendorong pendefinisian literasi yang berbasis pada pluralitas masyarakat itu.
Lembaga-lembaga non-pemerintah internasional dan nasional misalnya
mendefinisikan literasi secara beragam yang disesuaikan dengan berbagai
kegunaan.
Sementara itu, keragaman pengertian literasi juga terdapat di tingkat
regional maupun di tingkat nasional. Dalam laporan UNESCO, Bulgaria,
Kolombia, dan Meksiko misalnya, mendefinisikan literasi sebagai kemampuan untuk membaca dan menulis teks kalimat sederhana. Sementara Ukraina, Malaysia, dan Hungaria mengaitkan literasi dengan tingkat pendidikan.
Ada juga negara-negara yang membangun pengertian literasi secara
lebih spesifik. Cina misalnya, mendefinisikan literasi sebagai kemampuan
seseorang untuk mengerti minimum 2.000 aksara Cina di wilayah perkotaan
dan 1.500 karakter di wilayah perdesaan. Singapura mendefinisikan
literasi sebagai kemampuan untuk membaca dan memahami bacaan dalam
bahasa yang spesifik.
Pengertian konvensional konsep literasi di Indonesia
Pengertian konvensional yang sering dikaitkan dengan literasi di
Indonesia adalah “melek huruf” dan “buta huruf” yang mengacu pada konsep
yang dirumuskan Biro Pusat Statistik (BPS) sebagai “Angka Melek Huruf”
(AMH) dan “Angka Buta Huruf” (ABH).
AMH didefinisikan sebagai proporsi penduduk usia 15 tahun ke atas
yang mempunyai kemampuan membaca dan menulis huruf Latin dan huruf
lainnya, tanpa harus mengerti apa yang dibaca atau ditulisnya. Sementara
ABH adalah kebalikan dari AMH.
Menurut data UNDP tahun 2016,
angka melek huruf Indonesia termasuk yang baik bila dibandingkan dengan
banyak negara berkembang lainnya. Sejumlah 93,9% penduduk berusia 15
tahun ke atas dinyatakan dapat membaca dan menulis walau tanpa harus
memahami.
Tahun 2015, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan masa itu, Anies
Baswedan, sempat mencanangkan “Gerakan Literasi Sekolah” (GLS) yang
dikembangkan berbasis pada Permendikbud No. 21/2015 tentang Gerakan Pembudayaan Karakter di Sekolah.
Dalam Buku Saku Gerakan Literasi Sekolah
yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
disebutkan bahwa yang dimaksud dengan literasi adalah kemampuan dalam
mengakses, memahami, dan menggunakan informasi secara cerdas. Selain
tidak ada penjelasan lebih lanjut, definisi ini juga sumir dan mudah
disalahartikan.
Model literasi yang bermanfaat
Tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini jelas jauh lebih
kompleks dari sekadar melek huruf atau seperti yang dirumuskan dalam
Buku Saku Gerakan Literasi Sekolah. Definisi literasi yang sekadar
kemampuan membaca dan menulis tanpa melihatnya sebagai bagian dari
praksis dapat mengurangi kemanfaatan dan mengecilkan makna literasi.
Untuk itu perlu dibangun model literasi yang lebih bermanfaat yaitu
yang memperhatikan yang praksis sebagai yang utama, karena berawal dari
yang praksis terciptalah kemampuan. Untuk semakin “menjadi”, maka
kemampuan itu justru secara berkelanjutan diasah dan diteguhkan dalam
yang praksis.
Model literasi yang lebih bermanfaat adalah yang dibangun dengan
makna yang lebih mendalam dan holistik, menyentuh sisi-sisi kesadaran
individual dan kolektif.
Dalam hal ini, literasi sebaiknya dibangun atas dasar apa yang dikatakan Paulo Freire sebagai “conscientisation”
yaitu proses belajar yang bertujuan melahirkan “kesadaran kritis”
individual atau kelompok yang bersifat otonom, memanusiakan, dan
memerdekakan. Artinya, literasi menyangkut pula sebuah proses penanaman
metode berpikir yang dapat bermanfaat bagi pembangunan manusia.
Model literasi yang kontekstual
Paling tidak terdapat tiga konteks sosiologis dan antropologis
masyarakat Indonesia yang dapat dijadikan patokan dalam pembangunan
model literasi yang lebih kontekstual.
Pertama, walau angka buta huruf kecil, masyarakat kita belum
sepenuhnya masuk ke dalam budaya tulisan. Budaya lisan masih dominan
dihidupi oleh warga masyarakat. Kedua, masyarakat Indonesia memiliki
karakter budaya komunal yang kuat. Dan ketiga, hampir di seluruh belahan
dunia saat ini, tak terkecuali Indonesia telah menjadi bagian dari
sebuah jaringan raksasa masyarakat digital dunia.
Ketiga karakter ini bukan berarti kesalahan ataupun kelemahan,
sebaliknya justru harus menjadi perhatian utama supaya dapat ditemukan
pendekatan yang kontekstual dalam mencapai cita-cita pembangunan manusia
Indonesia melalui literasi.
Bila model literasi tidak memperhitungkan kekuatan budaya lisan dan
hanya fokus pada pendekatan tulisan, tampaknya cita-cita literasi akan
lambat dicapai. Sebaliknya yang perlu dikembangkan adalah metode
pembelajaran yang cukup seimbang memanfaatkan berbagai pendekatan lisan
dan tulisan.
Di sisi lain, pendekatan komunal sebenarnya dapat menjadi kekuatan
dalam meningkatkan literasi. Untuk itu, dapat dipikirkan lebih lanjut
berbagai pendekatan pembelajaran yang dilakukan secara komunal, sehingga
literasi dapat menjadi bagian dari budaya. Contoh, pembelajaran komunal
yang menanamkan kepedulian pada lingkungan di kalangan Sedulur Sikep di
Pegunungan Kendeng, Jawa Tengah.
Berbicara tentang literasi hari ini, juga semakin kompleks bila dikaitkan dengan perkembangan teknologi informasi yang semakin cepat. Miliaran informasi dari berbagai belahan dunia dapat mudah diakses setiap hari. Padahal tidak semua informasi itu bermanfaat, banyak di antaranya yang tidak konstruktif atau bahkan berbahaya bagi pembangunan keadaban. Dalam konteks itu perlu dikembangkan literasi digital yang mengedepankan keutamaan-keutamaan hidup bersama.
[theconversation/ Nur]