Nasihat Al Kindi untuk Para Koruptor


Ilustrasi \

AKTUALITAS.ID – Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi menjadi tersangka dalam kasus dugaan suap terkait KONI yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Selain itu KPK sebelumnya menahan tersangka bernama Miftahul Ulum yang merupakan asisten pribadi Imam Nahrawi.

Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata mengatakan Menpora tersebut diduga telah menerima suap sebanyak Rp26,5 miliar. Uang tersebut, kata Alexander merupakan commitment fee atas pengurusan hubah yang diajukan pihak KONI kepada Menpora pada 2018.

Kasus ini merupakan pengembangan dari operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan oleh KPK. KPK sendiri sudah menetapkan 5 orang tersangka, yaitu Ending Fuad Hamidy, Johnny E Awuy, Mulyana, Adhi Purnomo, dan Eko Triyanto.

Ending dijerat oleh KPK dalam jabatannya sebagai Sekjen KONI, sedangkan Johnny sebagai Bendahara Umum KONI. Baik Ending maupun Johnny telah divonis bersalah dalam pengadilan dengan hukuman 2 tahun 8 bulan penjara bagi Ending dan 1 tahun 8 bulan penjara bagi Johnny.

Sedangkan 3 orang lainnya yaitu Mulyana, Adhi Purnomo, dan Eko Triyanto masih menjalani persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta.

Persoalan korupsi di Indonesia khususnya menjadi persoalan pelik yang seolah tidak memiliki solusi. Runtuhnya Orde Baru menyisakan korupsi sulit lenyap dari negeri ini. Sejumlah kasus korupsi lambat tapi pasti terungkap sejak dibentuknya KPK, meskipun belakangan terjadi polemic terkait Rancangan Undang-Undang KPK.

Jika ditilik dari sudut pandang etika dalam kajian filsafat, bisa dipastikan bahwa korupsi adalah perbuatan yang amoral atau bahkan sisi-sisi kemanusiaan yang dimiliki pelaku lenyap. Etika bisa dikatakan cabang filsafat yang membahas perilaku manusia. Di dalamnya dipelajari tentang baik dan buruk sebuah perilaku.

Etika dalam filsafat pada tataran sejarah, sudah digunakan Aristoteles (384-322 SM) yang merujuk kepada filsafat moral. Etika dapat dikatakan pula ajaran tentang baik dan buruk, diterima umum terkait sikap, perbuatan, kewajiban manusia.

Dasar dari moral adalah ukuran yang diterima sebuah komunitas, sementara etika dapat dikatakan sebagai prinsip. Sejumlah filsuf muslim kerap mendiskusikan persoalan moral sebagai konsep di mana satu sama lain memiliki dasar masing-masing.

Dalam filsafat Islam seperti al Kindi misalnya menjabarkan terkait persoalan etika yang merupakan upaya meneladani perbuatan-perbuatan Tuhan sejauh dapat dijangkau oleh kemampuan manusia. Artinya, perilaku manusia yang memiliki moral adalah cerminan sifat-sifat ketuhanan.

Sebaliknya, perilaku manusia yang tidak bermoral atau amoral merujuk kepada selain Tuhan, atau bisa dikatakan merujuk kepada sifat-sifat setan, jika konsep terhadap pandangan tersebut menkontradiksikan sifat-sifat Tuhan.

Dalam pandagan lain menurut al Kindi, manusia memiliki keutamaan yang sempurna mengontrol nasfu untuk memperoleh keutamaan. Dalam hal ini karena nafsu yang ada dalam jiwa (diri) manusia mendorong kepada arah yang menjauh dari sifat-sifat ketuhanan, maka keburukan berada dalam kualitas paling rendah dalam hirarki moralitas.

Al Kindi berpandangan terkait keutamaan manusia, pertama keutamaan yang terletak pada jiwa, yakni pengetahuan dan perilaku. Dalam hal ini jiwa seseorang memegang peranan penting dalam memperoleh keutamaan. Keutamaan dalam jiwa tersebut terbagi menjadi; pertama, kebijaksanaan atau hikmah yang melingkupi keutamaan daya fikir yang bersifat teoritik dan praktik.

Kedua adalah keberanian yang merupakan keutamaan daya yang ada dalam jiwa manusia. Untuk mencapai sesuatu keutamaan, maka daya tersebut dibutuhkan untuk menolak yang seharus ditolak.

Sementara ketiga adalah kesucian yang harus diperjuangkan untuk mendidik dan memelihara badan dan serta menahan diri terhadap sesuatu hal yang tidak diperlukan.

Sementara keutamaan manusia yang tidak terdapat dalam jiwa. Namun keutamaan tersebut merupakan hasil dari keutamaan jiwa itu.

Dalam hal ini, konsep (teori dan praktis) yang ada dalam jiwa memegang peranan penting terkait pengaruhnya terhadap badan atau jasad manusia sebagai perjalanan akhir dari hasil konsepsi tentang suatu keutamaan.

Dalam hal ini jika berkaca dari pemikiran al Kindi tentang etika, korupsi sudah menjadi konsep dalam pandangan umum yang dipandang buruk. Koruptor, baik pejabat pemerintahan ataupun rakyat, bisa dibaca dari beberapa kemungkinan.

Pertama, para pelaku korupsi tidak memiliki konsep terkait keutamaan dalam menjalani hidup yang memiliki implikasi luas dalam kehidupan, apalagi memimpin sebuah komunitas (negara). Pasalnya, jika mereka memiliki sebuah pandangan terkait hal tersebut, tentunnya secara individu merkea akan menghindarinya.

Kedua, jika koruptor memiliki konsep terkait buruknya perilaku korupsi, namun masih juga dilakukan, maka mereka pada dasarnya tidak memiliki keberanian untuk mewujudkan apa yang menjadi konsepsinya.

Dua hal tersebut menjadi penekanan moralitas yang dibangun al Kindi dalam meraih keutamaan. Artinya konsepsi dan keberanian mengejawantahkan konsep tersebut menjadi syarat mutlak untuk menghindarkan praktik korupsi yang semakin mengkhawatirkan. [Achmad/AW]

slug . '" class="' . $tag->slug . '">' . $tag->name . ''; } } ?>