Pengumpulan Data Pribadi Masyarakat oleh PKK Dikritisi CISSReC


Foto Istimewa

AKTUALITAS.ID – Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi CISSReC Dr Pratama Persadha memandang penertiban penghimpunan data masyarakat perlu dilakukan. Hal itu penting untuk mencegah penyalahgunaan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.

“Meski sudah ada 1.227 pihak yang diberikan akses oleh dinas kependudukan dan pencatatan sipil (dukcapil), praktik mengumpulkan kartu tanda penduduk (KTP) dan kartu keluarga (KK) di lapangan masih banyak terjadi,” kata dia Minggu (22/9/2019).

Pernyataan itu Pratama lontarkan merespons pengumpulan dokumen masyarakat terkait dengan Program Indonesia Sehat dan Pendekatan Keluarga (PISPK) Kementerian Kesehatan di Depok, Jawa Barat. Dalam kegiatan tesebut, Kementerian Kesehatan meminta bantuan pemerintah daerah untuk menghimpun data berupa fotokopi kartu tanda penduduk, kartu keluarga, dan kartu Badan Penyelengara Jaminan Sosial Kesehatan, lewat kader Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) dan kader pos pelayanan terpadu (posyandu).

Sebagai pakar keamanan siber, Pratama mengatakan bahwa praktik penghimpunan data masyarakat seharusnya tidak lagi terjadi, apalagi ada data penting yang dikumpulkan. Ia mempertanyakan peruntukan data tersebut.

“Ini ada KTP dan KK yang dikumpulkan, untuk apa? Masyarakat tidak sedang pinjam uang bank,” ujar Pratama yang pernah menjadi wakil ketua Tim Lemsaneg (sekarang Badan Siber dan Sandi Negara/BSSN) Pengamanan Pesawat Kepresidenan.

Bahkan, menurut Pratama, dengan model akses terbuka oleh dukcapil, pihak perbankan pun seharusnya tidak perlu lagi meminta fotokopi identitas masyarakat. Hal ini mengingat tujuan warga memiliki KTP elektronik ialah membuat layanan administrasi di Tanah Air berjalan lebih cepat sekaligus memotong banyak jalur birokrasi berbelit.

Pratama menjelaskan, untuk mempercepat layanan apa pun, dukcapil telah membuka akses bagi banyak pihak, baik swasta maupun instansi pemerintah untuk melakukan sinkronisasi data kependudukan. Soal pengumpulan dokumen masyarakat, dia menanyakan aliran data tersebut dan penanggung jawab bila terjadi penyalahgunaan. Apalagi, Indonesia belum ada UU Perlindungan Data Pribadi.

Jika kelak undang-undang itu sudah ada, setiap penghimpun data masyarakat harus mengamankan data tersebut. Bahkan, ada ancaman pidana maupun perdata bila disalahgunakan.

“Ibu-ibu PKK dan posyandu kemungkinan besar tidak mengerti betapa bahayanya mengumpulkan data kependudukan tersebut,” kata Pratama.

Ia lantas menanyakan, “Data ini mau diapakan oleh Kemenkes? Bila terjadi penyalahgunaan apakah Kemenkes bisa bertanggung jawab? Ini serius, penghimpunan data kependudukan harus ditertibkan.”

Apalagi, menurut dia, di dalam KK tertera nama ibu kandung. Artinya, bisa disalahgunakan untuk mengelabui transaksi perbankan.

Oleh karena itu, perlu transparansi siapa pihak yang menyimpan data, baik dalam proses maupun akhir. Dalam hal ini, Kemenkes bisa bekerja sama dengan dukcapil sehingga tidak harus menghimpun data masyarakat.

Ia mencontohkan kasus jual beli data masyarakat pada bulan Agustus 2019. Polisi menangkap sejumlah orang yang memperjualbelikan data masyarakat. Hal ini menandakan bahwa banyak pihak yang butuh data kependudukan, mulai dari perusahaan besar sampai konter seluler di pinggir jalan, bahkan juga para pelaku kriminal.

Di Eropa, misalnya, ada general data protection regulation (GDPR) atau regulasi umum perlindungan data yang melindungi data warga. Setiap data warga Uni Eropa yang disalahgunakan, penghimpun dan pengelolanya bisa dituntut jutaan euro.

“Jadi, data ini tidak main-main,” kata Pratama yang pernah sebagai pelaksana tugas direktur Pengamanan Sinyal Lemsaneg (sekarang BSSN).

sumber : Antara

slug . '" class="' . $tag->slug . '">' . $tag->name . ''; } } ?>