Omnibus Law Untuk Siapa?


Ilustrasi omnibus-law, FOTO/IST

Bank dunia dalam laporan  yang berjudul ” global economic risk and implications for indonesia  sangat spesifik menyebutkan Indonesia negara berisiko,rumit,dan tak kompetitif untuk investasi. Mengkaji persoalan saat ini indo dpt dikatakan dlm kondisi hyper regulasi.

Sebanyak 10.180 regulasi sejak 2014 hingga November  2019 terdiri dari 131 undang2,526 peraturan pemerintah,839 peraturan presiden dan 8.684 peraturan menteri . Jumlah regulasi ini sering tumpang tindih dan tidak selaras sehi ngga berakibat keruwetan birokrasi yang tentu menyebabkan lemahnya efektivitas dan efisiensi kinerja birokrasi.

Dalam perkembangannya sistem undang  – undang  saat ini tidak jelas batasan materi yang harus di atur dalam undang  – undang , seringkali hal yang paling teknis pun dipaksakan utk diatur dlm bentuk undang-undang.

Kekeliruan paradigma ini menuai problem yang cukup parah ,yakni munculnya pandangan bahwa kuantitas undang- undang dianggap sebagai indikator kesuksesan kinerja legislasi bukan pada isi ato muatan undang- undang serta implementasi ato pengawasan regulasi.

Kualitas regulasi serta ketaatan pada asas dan pemuatan kepentingan umum sering diabaikan dlm proses.

Untuk itu, omnibus law dianggap mampu mengatasi tumpang tindih ( overlaping)regulasi maupun dalam hal menyederhanakan peraturan perundang-undangan. Namun pada perjalanan nya justru tak sesuai konsep adiluhung yang akan mengatasi sengkarut nya persoalan .

Kontroversi tampak pada RUU cipta lapangan kerja pasal 89 poin 24 disebutkan bahwa gubernur menetapkan upah minimum sebagai  jaring pengaman.

Padahal dalam peraturan pemerintah (PP) nomor 78 tahun 2015 penetapan upah dilakukan di provinsi serta kabupaten/kota, asumsinya jika menggunakan skema UMP seperti yang termuat dalam RUU cipta lapangan kerja upah pekerja jadi jauh lebih kecil dari sebelumnya.

Kemudian soal pemutusan hubungan kerja(PHK) dlm RUU cipta lapangan kerja tidak memuat uang penggantian hak,sedangkan UU no.13 tahun 2003 tentang ketenaga kerjaan pekerja berhak memperoleh uang penggantian hak atas PHK ,berikutnya pembayaran upah bagi pekerja yang berhalangan tak lagi disebut di omnibus law bandingkan aturan UU no.13 tahun 2003 ketenagakerjaan , tetap membayar upah sebesar 25-100% tergantung lama sakit, dan ato tidak masuk kerja 1-3 hari karena menikah,melahirkan ato anggota keluarga ada meninggal.

Argumentasi yang tampak kenapa begitu rendahnya investasi masuk ke Indonesia terkait upah yang  terlalu tinggi dibanding negara tetangga. Jika menyimak data statistik januari sampai agustus 2019 saja kenaikan upah cuma sekitar 3%, tentu lebih rendah dari tahun sebelumnya sekitar 3,2% ..

Menurut bank dunia data tahun 2016 hingga 2018  sebanyak 46% pekerja menerima upah  dibawah upah minimum yang ditetapkan daerah masing-masing .

Polemik penolakan omnibus law juga berangkat dari tidak transparan,terbuka,serta melibatkan seluruh elemen masyarakat  terdampak kebijakan .

Menarik di simak proses perumusan hanya melibatkan sekelompok kecil golongan semata. Komposisi satgas omnibus law bermasalah ketika 30% anggota nya pengusaha yang terdiri dari 16 orang kadin dan 22 ketua asosiasi bisnis yang bisa kemudian ada potensi konflik kepentingan dan berdampak dis orientasi . Omnibus law sebagai reformasi hukum seharusnya di jalankan dalam kerangka ” hukum demokratis”. ternyata berbeda rasa.

Gerakan buruh ,mahasiswa turun ke jalan tentu menjadi sinyal aksi dari reaksi penolakan omnibus law.

Bahkan bapak  SBY dalam pernyataannya menyatakan omnibus law ini misterius ..

Penulis: Meilda Pandiangan ( aktivis 98)

slug . '" class="' . $tag->slug . '">' . $tag->name . ''; } } ?>