Soekarno di Mata Natsir


Presiden Soekarno sedang memeriksa barisan dengan menaiki kuda dalam upacara peringatan Hari angkatan perang Ri yang pertama di Jogjakarta.(FOTO : Anri, Foto IPPHOS, 1945-1950, 148)

DI ANTARA banyak aktor dalam sejarah Indonesia modern tercatat dua nama besar: Ir. Sukarno yang akrab dengan sapaan Bung Karno, dan Mohammad Natsir.

Dalam dinamika politik nasional, kedua tokoh itu pernah saling beradu pikiran lewat polemik tertulis, pernah sangat akrab ketika memimpin revolusi kemerdekaan, pernah juga berpisah jalan. Bahkan di masa kekuasaan Presiden Sukarno, Natsir bersama sejumlah tokoh bangsa seperti Sutan Sjahrir, Prawoto Mangkusasmito, Mohamad Roem, Soebadio Sastrosatomo, Mochtar Lubis, J. Princen, Hamka, dan Imron Rosjadi dijebloskan ke penjara tanpa sesuatu proses hukum.

Dengan pasang naik dan pasang surut hubungan seperti itu, bagaimanakah Natsir menilai Bung Karno?

Berkenalan di Bandung

Pada 1981, wartawan senior dan penulis produktif Solichin Salam menulis buku berjudul Bung Karno dalam Kenangan. Salah seorang yang menyumbang tulisan di buku tersebut ialah M Natsir.

Berikut ini tulisan Ketua Umum Partai Masyumi (1949-1958) itu seperti dimuat dalam buku yang diterbitkan oleh penerbit Pusaka, Jakarta.

Bung Karno adalah salah seorang pemimpin besar bangsa Indonesia, di samping Bung Hatta. Ini satu kenyataan yang tak bisa seorang pun mengingkarinya. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya sebagai manusia.

Kami berkenalan semasa penjajahan Belanda, sewaktu sama-sama tinggal di Bandung, sekalipun waktu itu saya belum aktif di partai politik. Saya aktif di organisasi Persatuan Islam (Persis), sedangkan Bung Karno menjadi pendiri dan ketua PNI (Partai Nasional Indonesia).

Pada tahun 1930-an, terjadi polemik antara saya dengan Bung Karno mengenai masalah politik dan keislaman di majalah Pandji Islam dan Pedoman Masjarakat. Polemik tersebut berjalan dengan seru, meskipun demikian saya dengan Bung Karno senantiasa bersikap objektif dan masing-masing tidak pernah melukai perasaan pribadi.

Walaupun saya tidak pernah menjadi anggota PNI di Bandung, akan tetapi pada waktu Bung Karno ditangkap Belanda dan dimasukkan ke penjara Sukamiskin Bandung, kami dari Persatuan Islam termasuk yang pertama yang menjenguk, mengirim bacaan-bacaan dan kadang-kadang oleh-oleh ala kadarnya. Sebagaimana lazimnya bila ada teman berada dalam tahanan.

Berbeda Tanpa Rasa Benci

Setiap orang yang membaca polemik antara saya dengan Bung Karno dapat mengambil kesimpulan, bahwa pandangan hidup maupun pandangan politik serta asas perjuangan kami amatlah berbeda. Bung Karno mendasarkan perjuangannya atas dasar kebangsaan, sementara saya atas dasar Islam. Meskipun demikian, antara kami tidak pernah ada rasa benci atau dendam. Hal ini dapat dibuktikan antara lain dalam surat-surat Bung Karno kepada Tuan A. Hassan, yang kemudian dikenal dengan nama “Surat-surat Islam dari Ende”.

Sewaktu Bung Karno akan divonis, majalah Pembela Islam yang saya pimpin melakukan pembelaan dengan satu tulisan bapak Haji Agus Salim berjudul: “Hukum, Hakim dan Keadilan”. Sudah jadi “kebudayaan” kita di zaman itu; perbedaan faham tidak berarti permusuhan.

Sesudah Indonesia merdeka, secara resmi saya aktif dalam partai politik Masyumi. Semenjak itu saya kenal Bung Karno secara pribadi dari dekat. Apalagi sesudah saya menjadi Menteri Penerangan, hubungan saya dengan Bung Karno baik sekali. Apabila saya berada di Yogyakarta, selalu ia mengajak saya sarapan pagi di Gedung Kepresidenan, sambil mempersiapkan pidato-pidato Presiden untuk 17 Agustus.

Kabinet Kaki Empat
Setelah penyerahan kedaulatan, saya pernah ditunjuknya sebagai formatur Kabinet, kemudian menjadi Perdana Menteri. Pengalaman saya selama menjadi Perdana Menteri dan hubungan saya dengan Bung Karno tidaklah selancar dan sebaik hubungan saya sewaktu masih menjadi Menteri Penerangan di masa revolusi dahulu. Banyak timbul kesulitan dan hambatan yang saya alami dalam kerjasama dengan Bung Karno di periode Jakarta.

Makin lama makin memuncak perbedaan politik antara Bung Karno dengan saya, apalagi setelah timbul gagasan Bung Karno dengan konsepsinya berupa kabinet Kaki Empat. Gagasan Bung Karno itu saya tentang.

Sementara itu di berbagai daerah timbul pergolakan, karena terasa kebijaksanaan politik pembangunan yang terlalu Jawa sentris dan Jakarta sentris. Selain itu politik Bung Karno dengan NASAKOM (Nasionalis Agama Komunis)-nya membuat hubungan kami jauh.

Sekalipun pergolakan-pergolakan daerah ini telah dicoba untuk mengatasinya melalui Musyawarah Nasional (Munas) dan Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap) di Jakarta tahun 1957, akan tetapi usaha tersebut tidak berhasil.

Tetap Diundang ke Istana

Walaupun bagaimana, di saat pertentangan paham antara kami berdua telah memuncak, pada tanggal 1 Januari 1958 saya beserta istri, tetap diundang ke Istana Merdeka dan berjabatan tangan. Menurut kata orang yang melihat, salam kami waktu itu tampak sangat akrab. Mungkin Ipphos masih menyimpan fotonya.

Bung Kano selaku Presiden Republik Indonesia politiknya makin lama makin dekat dengan PKI. Hal ini mendorong munculnya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera dan Perjuangan Semesta (Permesta) di Sulawesi, yang dilanjutkan oleh generasi 1966, yang melahirkan Orde Baru.

Sebagai penutup saya ingin menegaskan lagi di sini, bahwa sebagai pribadi dalam segala perbedaan atau pertentangan pendapat tidak pernah saya maupun Bung Karno menaruh rasa dendam satu sama lain.

Mudah mudahan sikap jiwa (mental attitude) yang demikian ini dapat dihidupkan kembali dalam rangka pembinaan Bangsa di kalangan generasi penerus, demi tegaknya Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.

Betapapun perbedaan-perbedaan pendirian yang jujur di bidang politik, “lawan dan kawan”, mengakui besarnya saham dan sumbangan Bung Karno sebagai pejuang kemerdekaan Indonesia.

Dan sejarah mencatat, bahwa Bung Karno dan Bung Hatta adalah Proklamator Kemerdekaan Indonesia.

Oleh: Lukman Hakiem, Peminat Sejarah

slug . '" class="' . $tag->slug . '">' . $tag->name . ''; } } ?>