22 Tahun Reformasi, Dosa Aktivis 98 yang Belum Tertebus


Aznil Tan Direktur Eksekutif INFUDS/Indonesian Future Development Study

18 Mei 1998 :

Mahasiswa dari berbagai kampus sudah mulai merengsek ke Senayan. Secara bergelombang, mahasiswa terus mengalir datang ke Gedung MPR/DPR dengan tekad untuk diduduki.

Dengan suasana Indonesia masih mencekam atas aksi kerusuhan sosial yang meletus tanggal 13 Mei, mahasiswa sudah siap mewakafkan nyawanya untuk jadi tumbal perubahan dan mengakhiri rejim Soeharto yang otoriter, militeristik dan korup.

Tekad ini semakin membara di dada kami ketika teman-teman kami tewas pada aksi unjuk rasa 12 Mei 1998 di kampus Trisakti Grogol yang menewaskan empat orang mahasiswa.

Pada rapat mahasiswa telah dibuat sebuah kesepakatan. Yaitu, jika pada gelombang pertama terjadi pembantaian, maka disusul gelombang kedua yang akan jadi martir selanjutnya. Jika gelombang kedua juga dibantai, maka disusul  gelombang ketiga. Begitu seterusnya sampai Soeharto benar-benar tumbang.

Mahasiswa Indonesia sudah siap seperti peristiwa pembantaian di Lapangan Tiananmen oleh pasukan bersenjata Tiongkok pada rangkaian aksi demonstrasi dipimpin mahasiswa tahun 1989.

Pilihan mati bukan hal yang mustahil terjadii. Presiden Soeharto yang terkenal  kejam dan seorang jenderal berdarah dingin tidak pernah  kompromis terhadap pihak yang mengrongrong kekuasaan yang sudah dimilikinya 32 tahun.

20 Mei 1998, halamaan Gedung Keong MPR/DPR  sudah dipenuhi puluhan ribu mahasiswa yang digerakkan oleh FKSMJ (Forum Komunikasi Senat Mahasiswa) dan Forkot (Forum Kota) serta kelompok independen lainnya. Gedung semula dijaga ketat oleh ABRI bersenjata lengkap, akhirnya menarik diri. Gedung MPR/DPR pada saat itu sepenuhnya telah diduduki mahasiswa.

Amin Rais, AM Fatwa dan berapa orang lainnya dengan mengunakan mobil  terbuka memasuki halaman gedung MPR/ DPR. Mahasiswa pun mengusir para tokoh-tokoh tersebut yang mencoba merengsek ke kerumunan mahasiswa yang memadati  halaman Gedung MPR/DPR.

Prinsip kami, bahwa tuntutan reformasi adalah gerakan moral  yang tidak boleh ditunggangi oleh elit-elit politik siapapun.

Menjelang sore hari, berbagai aneka warna almater kampus semakin memenuhi gedung Senayan. Ada yang berorasi. Ada yang meneriakkan yel-yel serta menyanyikan lagu-lagu perjuangan.

Tuntutan segera dilakukan reformasi semakin kencang berkumandang. Pekikan mendesak Soeharto turun semakin terdengar lantang diteriakkan tanpa ada lagi rasa ketakutan.

Pada malam hari, suasana semakin mencekam. Terdengar kabar, aparat ABRI  akan mengosongkan gedung MPR/DPR. Ribuan mahasiswa diluar pagar sudah membentuk pagar betis menghadapi aparat bersenjata atau kelompok preman yang akan membubarkan aksi kami. Namun malam itu, untung tidak terjadi. Kalau tidak, Indonesia akan menyaksikan ratusan bahkan ribuan mahasiswa mati bergelimpangan di Senayan.

Pada pagi hari, Kamis, 21 Mei pukul 09.00 WIB, kami memekik berteriak kecang. Soeharto akhirnya mengumumkan dirinya mundur dari presiden Indonesia.

Perjalanan panjang yang banyak memakan korban nyawa, darah, harta benda serta memar-memar pukulan, akhirnya pintu gerbang reformasi terbuka.

Pekik kemenangan bergema dimana-mana. Mahasiswa ada yang menceburkan dirinya ke kolam air mancur yang ada dalam kompleks MPR/DPR sebagai ungkapan suka-cita. Diatas gedung keong, beberapa orang mahasiswa mengibarkan bendera merah putih menyambut Indonesia Baru yang akan dibentuk.

22 tahun sudah kejadian itu. Umur pun tidak muda lagi,  para pelaku sejarah reformasi tersebut sudah berkepala empat.

Nalar dan sanubari pun tersentak. Sebuah dosa sejarah datang mendera setiap memperingati hari kelahiran reformasi, 21 Mei.

Rakyat pun banyak mencibir dan bahkan mengecam reformasi. Kehadiran Indonesia Baru diharapkan sebagai antitesa Orba seperti menjadi sosok ambigu, alias tidak jelas.

Sementara semangat lahirnya reformasi yang diperjuangkan dengan nyawa, darah dan air mata tersebut sesungguhnya adalah terbentuknya suatu sistem berbangsa-bernegara yang bersih dan anti  praktik KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme).

Terwujudnya tatanan alam demokrasi serta terbentuknya tatanan civil society (non militerisme). Tidak ada lagi anak bangsa mendapat perlakuan kekerasan dan kejahatan HAM. Terbangunnya keadilan sosial dari kesenjangan ekonomi dikuasai oleh segelintir orang. Tak kalah lebih penting lagi dari tujuan reformasi, yaitu diberlakukan supremasi hukum.

Dilihat dari perjalanan reformasi dari tahun ke tahun hingga saat sekarang yang sudah memasuki 22 tahun, tatanan baru yang diperjuangkan para aktivis ”98 masih jauh dari harapan.

Musuh utama  KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) diganti oleh penjahat-penjahat baru yang tak kalah rakusnya. Meskipun KKN sudah menjadi public enemy dan pemberantasannya sudah dilakukan secara extra ordinary namun perilakunya makin menggila. Minimal 10% dari APBN dan APBD ditelan untuk pembagian fee proyek.

Mark up, proyek fiktif dan korupsi pada keuangan negara yang dikumpulkan dari uang rakyat tersebut masih menjadi watak para  penyelenggara pemerintahan yang belum terhapuskan. Begitu juga, penindakan terhadap penghamburan anggaran yang tidak produktif masih belum tersentuh penindakannya.

Tentang praktik nepotisme seperti dilakukan Kepala Kantor Staf Presiden Moeldoko merekrut puterinya, meski sudah menjadi musuh bangsa ini tetapi sampai sekarang tidak muncul alat negara untuk menindaknya.

Tentang kehadiran militer masih kental menjadi bargaining politic kekuasaan. Tatanan civil society masih kental diwarnai kehadiran para purnawirawan-purnawiran dan militer aktif mengisi posisi strategis pemerintahan. 32 tahun Soeharto membangun Indonesia negara militerisme hingga sampai sekarang ini sosok militer masih dianggap sebuah kekuatan yang mesti hadir ditengah masyarakat civil society yang dibentuk.

Tentang Kepolisian  meskipun sudah pisah dari ABRI (baca : TNI)  dan kembali ke masyarakat sipil dari buah reformasi, namun berubah menjadi sebuah kekuatan baru sebagai penopang kekuasaan. Petugas kepolisian masih berprilaku tenteng per tenteng dihadapan rakyat.  Paradigma mengayomi dan profesionalitas masih jauh sebagai petugas pelayan laporan masyarakat. 

Di tubuh Kepolisian masih kuat terjadi praktik maladministrasi seperti penundaan berlarut dalam penyelidikan atau penyidikan. Begitu juga masih tingginya laporan masyarakat terhadap penyalahgunaan wewenang, tindakan kekerasan hingga kasus salah tangkap yang dilakukan Polri.

Tentang pelanggan HAM terdapat sejumlah catatan hitam dalam ranah hukum dan HAM. Amanah gerakan Reformasi 1998 terkait supremasi hukum belum juga terwujud. Belum lagi bicara konflik sosial apalagi soal sengketa tanah.

Kasus pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu belum juga menemukan titik terang terkait penyelesaiannya. Sampai saat ini, masih ada tujuh kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu yang “tertahan” dan bahkan ditolak oleh Kejaksaan Agung.

Tentang demokrasi yang terbentuk lebih kuat untuk kepentingan elit politik berebut kekuasaan, bukan untuk memajukan rakyatnya. Biaya politik begitu tinggi sehingga kekuasaan masih dikuasai oleh kaum oligarki yang menumpang sistem demokrasi yang terbentuk sekarang.

Kaum kapitalis bermodal besar menjadi cukong dalam pemenangan pemilu atau pilkada. Demokrasi Indonesia makin jauh dari cita-cita untuk memakmurkan rakyat.

Tentang kesenjangan ekonomi  masih dikuasai sebagian kecil. 90% ekonomi Indonesia dikuasai oleh 1%.

Berdasarkan riset Bank Dunia mengatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya memberi manfaat kepada 20 persen orang paling kaya di Indonesia saja. 

Tim Nasional Pecepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) melaporkan, hampir 50% aset nasional dimiliki 1% orang saja.

Kenapa Reformasi Dikorupsi?

Ada 3 faktor penyebab reformasi dikorupsi. Pertama, tidak tercipta alih generasi.

Kekuatan Orde Baru masih dominan mengisi posisi strategis kekuasaan. Kaum Orba tak kalah cerdiknya, mereka bermetamorfosis menjadi kaum reformis.

Katakanlah Wiranto, Susilo Bambang Yudhoyono, Prabowo, Fachrul Razi dan elit-elit politik yang berwajah lama masih kuat sebagai kekuatan penentu format reformasi yang akan dibentuk serta pelaku dalam kebijakan pemerintahan lakukan pasca Soeharto.

Seperti kutukan, makin bertambah umur reformasi makin bertambah kuat konsolidasi politik dan pengaruh ketokohan para generasi Orba yang pernah ditumbangkan tersebut.

Meskipun kehadiran presiden Jokowi lepas dari masa lalu, tetapi disekitarnya masih dominan dipegang oleh orang-orang yang dulu gagal menjalankan pemerintahan. Pada masa pemerintahan Jokowi masih tetap saja dipakai bahkan diagung-agungkan. Kekuatan bargaining politik mereka sangat tinggi.

Alih generasi tidak terjadi. Hal ini disebabkan penerapan demokrasi yang berbiaya tinggi. Aktivis 98 dikadali dengan propaganda gerakan moral.

Permainan intelijen pun tak luput menenggelamkan gerakan perubahan dalam gerakan selanjutnya dalam menentukan tatanan sistem reformasi yang akan dibentuk setelah pasca Soeharto lengser. Mahasiswa diintrik dan dipecah bahwa tugas mahasiswa telah selesai menurunkan Soeharto dan diminta kembali ke kampus.

Setelah diputuskan bersama para elit politik saat itu dengan menyelenggarakan pemilu ulang, gerakan mahasiswa semakin terpecah dan kehilangan arah.

Baik kaum Orba maupun kaum Reformis sama-sama diberi kesempatan untuk bisa manggung kembali dengan cara mengocok ulang pemerintahan baru pada pemilu 1999 yang multi partai. Hal ini, sehingga membuat tidak terlaksananya alih generasi.

Kedua, rekrutmen kepada aktivis ’98 tidak ada mempersiapkan generasi baru membangun tatanan Indonesia kedepan yang lebih baik sebagai bentuk legowo “kaum gagal”.

Memang beda nasib dengan Angkatan’ 66. Setelah Soekarno jatuh dan lahir Orde Baru dibawah pimpinan Soeharto, para Angkatan ’66 dikuliahkan ke luar negeri bahkan direkrut dalam pemerintahan.

Aktivis ’98 dibiarkan mencari hidupnya sendiri dan dipersilahkan menghamba kepada suatu kekuatan politik jika masih mau ikut juga dalam perebutan kekuasaan. Tak pelak, banyak para aktivis ’98 memilih menyelamatkan tuntutan hidupnya setelah selesai kuliah dan meninggalkan dunia reformasi yang sudah direbutnya. Hanya sebagian kecil, para aktivis ’98 bertahan diperuntungan hidupnya dengan berkiblat pada suatu kekuatan politik yang existing.

Ditambah kondisi biaya demokrasi yang  berbiaya besar tak hayal gagal bertarung dalam pemilu yang ganas dan kanibal dalam perebutan kekuasaan.

Ketiga, Aktivis ’98 gagal konsolidasi kekuatan pasca Soeharto lengser. Ditengah intrik dan ego eksistensi diri, aktivis ’98 muncul bermain sendiri-sendiri.

Kekuatan ’98 yang hadir selalu kesulitan mempunyai pengaruh untuk menentukan arah reformasi yang pernah diperjuangkannya. Isu-isu mereka tenggelam dan kalah oleh kekuatan politik lama yang sudah mapan dan mampu menguasai media.

Mereka ibarat kelas amatir bertanding dengan petinju kelas berat seperti melawan Mike Tyson. Akhirnya, sekali pukul saja,, mereka tumbang.

Catatan 22 Tahun Reformasi

Aktivis 98 tidak bisa sekedar bernostalgia atas keadidayaan mereka yang berhasil menumbangkan rezim yang menakutkan tersebut. Tidak bisa mengatakan bahwa karena kami lah kalian bisa duduk seperti sekarang ini.

Waktu sudah berubah. Bahkan perjuangan reformasi yang diukir para aktivis 98 sudah banyak masyarakat melupakannya.

Para kelompok yang penikmat kue reformasi menjadikan Aktivis ’98 sebagai seteru politik yang menganggu kenyamanan mereka.

Pada refleksi 22 Reformasi ini, Aktivis ’98 harus kembali saling bahu-membahu untuk  meluruskan cita-cita reformasi. Menebus dan menuntaskan agenda-agenda reformasi yang mandek dan memperparah keadaan. Yaitu, melawan elit-elit politik mengkorup reformasi.

Penderitaan rakyat masih terdengar merintih di setiap sudut bumi Pertiwi. Tantangan Indonesia pada Revolusi Industri 4.0 masih menunggu kehadiran tatanan baru yang berkeadilan dan berkemajuan.

Jika tidak, dosa sejarah itu akan selalu mengikuti kita.

#ReformasiDikorupsi

#22TahunReformasi

Penulis: Oleh : Aznil Tan

Aktivis ’98 dari Kampus Universitas Mecu Buana dan anggota  FKSMJ

slug . '" class="' . $tag->slug . '">' . $tag->name . ''; } } ?>