Connect with us

NASIONAL

Ojol Jadi Karyawan Tetap? Pengacara Ungkap Risiko Hukum Raksasa Menanti

Aktualitas.id -

Ojol, Dok: aktualitas.id

AKTUALITAS.ID – Wacana perubahan status mitra pengemudi ojek online (ojol) menjadi karyawan tetap terus bergulir, memicu diskusi hangat di tengah masyarakat. Terlebih, tren di beberapa negara menunjukkan adanya pergeseran pandangan hukum terkait hubungan kerja antara platform digital dan para pengemudinya.

Menanggapi isu krusial ini, Kuasa Hukum Lia Alizia menjelaskan jika regulasi di Indonesia kelak mewajibkan perusahaan ojol untuk mengangkat mitranya sebagai karyawan tetap, konsekuensi hukum yang signifikan akan tak terhindarkan.

“Perubahan status hubungan kerja dari kemitraan independen menjadi hubungan kerja formal akan membawa perusahaan ojol di bawah naungan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Ini berarti perusahaan akan memiliki kewajiban untuk memenuhi hak-hak normatif pekerja,” papar Lia dalam keterangan tertulisnya, Minggu (15/6/2025).

Menurut Lia, perubahan ini akan membawa implikasi luas, termasuk potensi munculnya sengketa hukum baru jika tidak diatur secara komprehensif sejak awal. Salah satu contohnya adalah pengaturan jam kerja, target harian, dan sistem insentif yang selama ini berjalan fleksibel bagi para pengemudi.

“Selama ini pengemudi menikmati kebebasan mengatur waktu kerja mereka. Pertanyaannya, apakah perusahaan dapat menerapkan sistem shift atau target tanpa melanggar prinsip kerja yang adil?” ujar Lia.

Selain itu, proses transisi dari status mitra ke karyawan tetap juga berpotensi menimbulkan polemik terkait kontrak kerja dan penolakan dari sebagian pengemudi yang mungkin tidak ingin terikat dengan sistem kerja korporasi yang lebih terstruktur.

Untuk meminimalisir risiko tersebut, Lia menyarankan agar perusahaan ojol mulai melakukan antisipasi dengan kajian hukum yang mendalam dan menyiapkan skema transisi yang adil serta transparan. Langkah preventif ini bisa berupa revisi perjanjian kemitraan, peningkatan kepatuhan terhadap prinsip ketenagakerjaan, dan dialog konstruktif dengan regulator serta komunitas pengemudi.

“Jika perubahan status hukum ini tidak diantisipasi dengan baik, perusahaan berisiko menghadapi litigasi, kerugian finansial, hingga penurunan reputasi di mata publik,” tegas Lia.

Sebagai solusi alternatif, Lia mengusulkan perusahaan dapat mempertimbangkan model hybrid employment yang menggabungkan fleksibilitas kemitraan dengan perlindungan dasar ketenagakerjaan. Contohnya, menyusun struktur insentif yang adil, menawarkan akses sukarela ke program jaminan sosial, dan membentuk forum komunikasi yang efektif antara pengemudi dan manajemen.

Lia juga menekankan pentingnya peran pemerintah dalam merumuskan kerangka hukum yang adaptif dan progresif. Tujuannya adalah agar transformasi ini tidak menghambat inovasi teknologi, namun tetap menjamin keadilan dan kesejahteraan bagi para pekerja di era ekonomi digital. (Ari Wibowo/Mun)

TRENDING