Usai Puluhan Tewas, Demostran Myanmar Tak Gentar Lawan Militer


Aktivis pro-demokrasi Myanmar berjanji kembali menggelar demonstrasi melawan kudeta militer pada Kamis (4/3). Para pedemo tak gentar meski puluhan orang dilaporkan tewas selama aksi yang sudah berjalan sebulan itu.

PBB mencatat sebanyak 38 orang tewas dalam kerusuhan hari Rabu (3/3). Angka itu merupakan jumlah korban terbanyak selama aksi kudeta berlangsung.

Salah satu aktivis Maung Saungkha mengatakan kelompok komite Pemogokan Umum Kebangsaan mengadakan kembali protes pada hari Kamis.

“Kami tahu kami bisa selalu ditembak dan dibunuh dengan peluru tajam, tapi tak ada artinya tetap hidup di bawah junta (militer), jadi kami memilih jalan berbahaya ini sebagai jalan keluar,” ucap aktivis Saungkha kepada Reuters.

“Kami akan melawan junta dengan cara apapun yang kami bisa. Tujuan akhir kami adalah untuk menghilangkan sistem junta dari akarnya,” kata Saungkha.

Unggahan media sosial dari aktivis lain mengatakan setidaknya dua demonstrasi juga digelar di beberapa bagian Yangon.

Di Yangon, saksi mata mengatakan sedikitnya delapan orang tewas pada hari Rabu. Sementara media lokal melaporkan enam orang tewas di pusat kota Monywa.

Satu di antara orang yang ditembak mati adalah gadis remaja berusia 19 tahun. Ia mengenakan kaus bertuliskan, “Semuanya akan baik-baik saja.”

“Saya mendengar begitu banyak tembakan terus menerus. Saya tiarap, mereka banyak menembak,” kata pengunjuk rasa Kaung Pyae Sone Tun (23).

Save the Children, lembaga yang fokus dalam perlindungan anak mengatakan empat anak tewas termasuk seorang anak laki-laki berusia 14 tahun. Anak itu dilaporkan Radio Free Asia ditembak mati oleh seorang tentara dalam konvoi truk militer yang lewat.

Menurut laporan itu, tentara memasukkan tubuhnya ke truk dan tetap melaju.

Untuk menghormati para korban yang meninggal, partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) mengatakan akan mengibarkan bendera setengah tiang di kantornya.

Utusan khusus PBB untuk Myanmar, Christine Schraner Burgener, mengatakan bahwa Rabu adalah “hari paling berdarah” sejak kudeta 1 Februari dengan 38 kematian. Sehingga total korban tewas menjadi lebih dari 50 orang.

Kekerasan itu membuat Amerika Serikat kaget dan berencana mengevaluasi untuk memberi tanggapan. Sementara Uni Eropa mengecam penembakan yang terjadi pada warga sipil Myanmar.

Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS Ned Price mengatakan Amerika Serikat “terkejut” dengan kekerasan yang terjadi di Myanmar, dan tengah mengevaluasi untuk menanggapi hal tersebut.

Amerika Serikat berharap China memainkan peran yang konstruktif dalam krisis politik di Myanmar. Namun China menolak untuk mengecam kudeta tersebut. Media pemerintah China hanya menyebutnya sebagai “perombakan kabinet besar-besaran.”

Uni Eropa mengatakan penembakan terhadap warga sipil tak bersenjata dan pekerja medis jelas melanggar hukum internasional. Pihaknya juga mengatakan militer meningkatkan penindasan terhadap media, dengan semakin banyaknya jurnalis yang ditangkap dan didakwa.

Setelah insiden berdarah itu, Burgener mencoba menghubungi pihak militer Myanmar. Namun juru bicara dewan militer yang berkuasa tak menjawab panggilan telepon yang meminta komentar.

Burgener juga telah memperingatkan wakil kepala militer Myanmar, Soe Win, kemungkinan besar Burma akan menghadapi tindakan keras dari sejumlah negara dan isolasi sebagai hukuman atas kudeta tersebut.

“Jawabannya adalah: Kami terbiasa dengan sanksi, dan kami selamat'” kata Burgener meniruka jawaban pihak militer Myanmar.

“Ketika saya juga memperingatkan mereka akan masuk (ke) isolasi, jawabannya adalah: kita harus belajar berjalan hanya dengan sedikit kawan (sekutu).”

Diketahui, Dewan Keamanan PBB akan membahas situasi mengenai perkembangan kudeta Myanmar dalam rapat tertutup pada hari Jumat.

slug . '" class="' . $tag->slug . '">' . $tag->name . ''; } } ?>