Connect with us

Berita

ICJR Tentang Keras Wacana Hukuman Mati Kasus Suap Bansos Menteri Sosial Juliari

AKTUALITAS.ID – Institute for Criminal Justice (ICJR) menentang keras pernyataan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri terhadap hukuman mati yang patut diberikan kepada Menteri Sosial Juliari Peter Batubara. Juliari ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan menerima suap dari pengadaan Bantuan Sosial (Bansos) saat pandemi Covid-19. Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu merekomendasikan langkah yang lebih tepat […]

Published

on

AKTUALITAS.ID – Institute for Criminal Justice (ICJR) menentang keras pernyataan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri terhadap hukuman mati yang patut diberikan kepada Menteri Sosial Juliari Peter Batubara. Juliari ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan menerima suap dari pengadaan Bantuan Sosial (Bansos) saat pandemi Covid-19.

Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu merekomendasikan langkah yang lebih tepat diambil oleh pemerintah seharusnya fokus pada visi pemberantasan korupsi dengan memperbaiki sistem pengawasan pada kerja-kerja pemerintahan khususnya dalam penyaluran dana bansos dan kebijakan penanganan pandemi lainnya.

“Pengguna pidana mati tidak pernah sebagai solusi akar masalah korupsi,” ucap Erasmus, Minggu (6/12/2020).

Erasmus mengatakan ICJR dalam laporan kebijakan hukuman mati 2020 “Mencabut Nyawa di Masa Pandemi” yang dikeluarkan pada Oktober 2020 telah memprediksi bahwa wacana pidana mati di tengah pandemi ini akan digunakan untuk, seolah-olah sebagai solusi atas permasalahan korupsi di pemerintahan.

“Dalam laporan tersebut ICJR telah menekankan bagaimana penjatuhan hukuman mati sama sekali tidak mempunyai dampak positif terhadap pemberantasan korupsi di suatu negara,” tuturnya.

Laporan itu dikatakan Erasmus terbukti berdasarkan data Indeks Persepsi Korupsi (IPK) tahun 2019, negara-negara yang menduduki peringkat puncak atas keberhasilannya menekan angka korupsi tidak memberllakukan pidana mati sebagai pemidanaan bagi tindak pidana korupsi seperti Denmark, Selandia Baru, dan Finlandia.

Kemudian Singapura yang juga tidak menerapkan hukuman mati untuk kasus korupsi berhasil menjadi negara dengan ranking IPK tertinggi di kawasan Asia Tenggara.

“Sebaliknya, negara-negara yang masih menerapkan pidana mati termasuk untuk kasus korupsi malah memiliki nilai IPK yang rendah dan berada di ranking bawah termasuk Indonesia (peringkat 85), Cina (peringkat 80), dan Iran (peringkat 146),” ucapnya.

Menurut Erasmus, selama ini hukuman mati di Indonesia lebih cenderung digunakan sebagai narasi populis, seolah-olah negara telah bekerja efektif dalam menanggulangi kejahatan, termasuk korupsi. Padahal faktanya tidak ada permasalahan kejahatan yang dapat diselesaikan dengan menjatuhkan pidana mati.

“Contoh paling konkrit misalnya dari praktik kebijakan narkotika dengan mengusung slogan perang terhadap nakotika sejak 2015 yang secara agresif menerapkan hukuman mati, terbukti sama sekali tidak berimbas pada penurunan angka peredaran gelap narkotika sampai saat ini,” ujarnya.

Begitu pula dengan kebijakan pemberantasan korupsi, ICJR sangat menentang keras rencana pemerintah untuk menjatuhkan hukuman mati sebagai solusi pemberantasan korupsi terlebih pada masa pandemi ini.

ICJR merekomendasikan langkah yang lebih tepat diambil oleh Pemerintah yaitu fokus pada visi pemberantasan korupsi dengan memperbaiki sistem pengawasan pada kerja-kerja pemerintahan khususnya dalam penyaluran dana bansos dan kebijakan penanganan pandemi lainnya.

Pembenahan sistem pengawasan di pemerintahan untuk mencegah korupsi belum berjalan dengan baik. Hal ini terbukti dengan terus bermunculannya kasus-kasus korupsi khususnya yang ada di lingkungan Kementerian Sosial.

Menteri Sosial periode sebelumnya yakni Idrus Marham baru pada 2019 lalu terjerat kasus korupsi pembanguan PLTU Riau. Kemudian jauh sebelumnya pada 2011, Menteri Sosial periode 2001-2009, Bachtiar Chamsyah, juga sempat tersandung kasus korupsi pengadaan sarung, sapi, dan mesin jahit. Fokusnya harus pada pembaruan sistem, tidak hanya berfokus pada hukuman.

Narasi pidana mati menandakan bahwa pemerintah berpikir pendek atas penanganan korupsi di Indonesia. Pemberlakuan pidana mati untuk tindak pidana korupsi juga akan mempersulit kerja-kerja pemerinrah dalam penanganan korupsi, sebab banyak negara yang jelas akan menolak kerja sama investigasi korupsi jika Indonesia memberlakukan pidana mati. Pembaruan sistem pengawasan yang harus dirombak ketimbang bersikap reaktif dengan menjatuhkan hukuman mati terhadap kasus-kasus individual.

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Komjen Firli Bahuri menyatakan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara bisa diancam dengan hukuman mati, jika terbukti melanggar Pasal 2 UU 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

“Ya, kita paham bahwa di dalam ketentuan UU 31 tahun 99 pasal 2 yaitu barang siapa yang telah melakukan perbuatan dengan sengaja memperkaya diri atau orang lain, melawan hukum yang menyebabkan kerugian keuangan negara di ayat 2 memang ada ancaman hukuman mati,” ujar Firli di Gedung KPK, Minggu (6/12).

OASE

INFOGRAFIS

WARGANET

Trending