Lima Alasan Anies Baswedan Seorang Intelektual Visioner


Gubernur DKI Jakarta, Anies Bawesdan. AKTUALITAS.ID/Kiki Budi Hartawan.

AKTUALITAS.ID – Rangkaian pernyataan Anies Baswedan saat dan setelah banjir Jakarta menunjukkan sosok intelektual yang visioner. Terlalu visioner malah.

Banjir Jakarta sudah surut. Di antara sampah berlumpur dan hati hancur, pernyataan-pernyataan Gubernur Anies Baswedan masih terngiang sebagai petuah yang cemerlang.

Jangan salah. Kepada Menteri Basuki Hadimuljono (yang menengarai kaitan banjir dengan mandeknya normalisasi Ciliwung) maupun kepada Presiden Joko Widodo (soal penanganan sampah dan target pembenahan sungai) Anies sejatinya sama sekali tidak membantah. Blio hanya meluruskan pemahaman.

Dan meluruskan pemahaman—entah lurus terhadap apa—mutlak penting bagi seorang cendekiawan sekaliber Anies dalam ikhtiar merajut, menenun, menganyam, (memintal, merenda dan mengobras, you name it sakarepmu) edukasi bangsa.

Ingat, sebagai mantan rektor dan menteri pendidikan, Anies Baswedan akan selalu membawa umat menuju pencerahan intelektual, seolah min adh-dhulumati ila an-nur.

Rangkaian pernyataan itu sekaligus menempatkan Anies Baswedan sebagai intelektual yang visioner. Buktinya, blio teguh menegakkan sikap ilmiah dan cara berpikir kritis. Bahkan di saat kondisi korban banjir makin kritis.

Berikut lima contohnya.

1. Berpandangan jauh ke depan

Apa guna ilmu pengetahuan kalau bukan untuk membangun masa depan yang gemilang?

Sebagai cendekiawan, Anies selalu memandang persoalan beberapa langkah ke depan. Jadi, walaupun LIPI dan Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane menyatakan bahwa periode awal banjir yang langsung meng-KO sebagian Jakarta di permulaan 2020 ini bukanlah banjir kiriman, Anies bersikeras bahwa hal terpenting adalah pembangunan bendungan di wilayah tetangga untuk mengendalikan air yang masuk ke Jakarta.

Untuk memahami logika tingkat makrifat itu, mari kita ingat pelajaran geografi SD-SMP.

Banjir di area dengan topografi seperti Jakarta bisa berasal dari tiga sumber. Pertama, jelas, rob dari laut. Kedua, banjir kiriman: air menggelontor dari kawasan sekitar yang lebih tinggi—dalam hal ini Bogor dan sekitarnya.

Ketiga, banjir lokal, yang terjadi saat air tumpah mengguyur dari langit Jakarta sendiri dalam kuantitas besar dan terus-menerus. Ini bisa fluvial (air meluap dari sungai tanpa perlu menunggu kiriman tetangga), atau pluvial: air hujan terjebak di gang-gang, jalanan, dan bebangunan akibat tak menemukan jalan keluar. Atau keduanya.

Antisipasi untuk banjir kiriman maupun lokal prinsipnya hampir serupa: penampungan, penyerapan, dan pengaliran. Tentu saja besaran, kompleksitas serta rinci teknis masing-masing akan berbeda-beda tergantung pada kondisi setempat.

Bendungan misalnya, sangat diperlukan untuk mengelola banjir kiriman. Yang sedang ngetop tentu Ciawi dan Sukamahi. Yang sudah duluan ngetop: Cibalok, Katulampa, Depok, dan seterusnya.

Sementara untuk banjir lokal, selain peran danau-embung-waduk, yang tak kalah penting adalah kolaborasi drainase termasuk batang sungai-sungai di dalam kota itu sendiri.

Celakanya, hanya sekitar 33 persen drainase di Jakarta, setidaknya menurut Nirwono Joga, yang bekerja beres. Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio juga mencurigai sampah tak terurus, yang berpotensi menyumbat saluran, dan pompa air yang macet.

Toh bagi Anies, tak peduli itu banjir lokal, yang penting solusinya haruslah bendungan. Lebih penting lagi: di wilayah tetangga.

Inilah bukti bahwa Anies memandang persoalan secara luas dan jauh ke depan. Blio tak mau bicara tentang banjir yang “sedang” melanda dan “sudah” menyengsarakan warga, melainkan yang “akan” datang esok paginya.

Sungguh visioner, bukan?

Oke, oke, kita bisa beropini: andai banjir lokal yang datang duluan itu beres tertangani, dampak banjir kiriman yang menghajar setelahnya tidak akan semenyengsarakan begitu. Ya, bolah-boleh saja, tapi itu tidak berarti Anies salah.

Memangnya, sejak kapan Anies Baswedan bisa salah?

2. Berlandaskan Fakta

“Comment is free but facts are sacred.”

Begitu kata almarhum Pak Charles Scott, editor dan pemilik koran bergengsi The Guardian. Tak perlu penjelasan lagi, kita semua tahu, penarikan kesimpulan pada metode ilmiah selalu berlandaskan fakta yang sahih.

Nah, satu fakta yang diajarkan Anies Baswedan: Kampung Melayu tetap kebanjiran walau bantaran terdekat sudah dinormalisasi.

Kesimpulannya, normalisasi tak berhasil guna alias nirfaedah. Basuki boleh ngomong apa saja, tapi fakta pilihan Anies bicara beda.

Bahwa ada fakta lain, misalnya, banjir di Kampung Melayu itu bukan karena limpasan (air sungai meluap melampaui tanggul) melainkan akibat limpahan atau balikan dari area sekitar yang normalisasi sungainya tidak digarap, ya abaikan saja.

Kompas juga pernah mencatat fakta serupa saat terendamnya area Kampung Pulo pada banjir 2017. Padahal pemberesan sungai di sekitarnya sudah rampung. Ternyata banjir tidak datang dari penggal sungai yang dinormalisasi melainkan akibat membludaknya saluran air yang melewati permukiman warga.

Nah, sebagai ilmuwan tangguh, Anies menunjukkan kelasnya. Blio hanya memilih satu fakta yang mendukung pendapatnya tanpa repot mempertimbangkan fakta lain. Ilmuwan selain Anies belum tentu bisa (atau tega) melakukan modus itu.

Toh, diksi dan intonasi bicara Anies sudah membuat pendukungnya kagum plus percaya. Dan itu sudah cukup. Sangat memadai!

Bukankah salah satu kesuksesan cendekiawan adalah keefektifannya meyakinkan publik?

3. Menghindari redundancy

Sebagai ilmuwan dan pendidik, Anies Baswedan mengajarkan pentingnya prinsip menghindari redundancy alias duplikasi yang tak perlu.

Caranya? Blio mengajak aparat dan khalayak agar di saat banjir tidak saling menyalahkan.

Soalnya, perilaku menyalahkan pihak lain ini sudah terlalu sering diperagakan. Oleh siapa? Ya, oleh sang pemberi teladan, yang tak lain adalah dia sendiri. Dan ini konsisten.

Sejak kampanye pilkada 2016, Anies sudah menyalahkan metode pengaliran air ke laut. Padahal di SD kita juga diajari bahwa nasib air hujan yang jatuh ke bumi, kalau tidak terserap, ya jadi run-off alias mengalir di permukaan.

Di kawasan urban, volume run-off bisa bengkak. Oleh karenanya, kota tidak hanya perlu ruang terbuka hijau dan sumur resapan untuk mengembalikan air ke tanah sesuai sunatullah; run-off yang nggelontor itu sunatullah juga. Pengelolaannya melalui sungai dan gorong-gorong sangat penting dan genting.

Kecuali jika, demi kesantunan dan keadilan, terjangan air tadi memang dipersilakan mampir. Atau jalan santai lewat trotoar menemani PKL. Atau melalui jalanan dan gang-gang bersama becak, kakilima, pengendara motor, dan pengguna jalan lainnya.

Anies juga menyalahkan normalisasi. Itu berarti menyalahkan Basuki, baik yang menteri maupun yang mantan gubernur. Juga, seperti sudah disebut di muka, blio pun menyalahkan Jokowi.

See?

Sudah banyak kali Anies mengedukasi publik langsung dengan teladan: bagaimana cara menyalahkan pihak lain secara santun, indah, dan mendapat dukungan umat maupun ulama.

Mungkin blio juga tak akan enggan menyalahkan hujan. Karena itulah, yang lain jangan ikut-ikutan menyalahkan. Cukup Anies saja. Supaya kita, secara ilmiah, terhindar dari redundancy alias kemubaziran itu tadi.

Paham, Tong?

4. Mengisolasi variabel

Kalau kita kembali lagi ke pelajaran SD-SMP bab banjir tadi, kita tahu terdapat banyak cara mencegah dan menghalau banjir. Semua cara itu saling membantu mengurangi resiko. Lantaran, tak ada satu pun cara atau alat yang über alles hingga bisa bekerja sendirian tanpa dukungan yang lainnya.

Tapi pemahaman Anies Baswedan telah melampaui itu semua. Blio dapat mengisolasi satu faktor dan mengalahkan—bahkan menyalahkan faktor-faktor lainnya.

Misalnya, ya itu tadi, karena yang paling benar adalah memasukkan air hujan ke tanah maka pengaliran air permukaan via gorong-gorong menuju laut dianggap sebagai kekeliruan fatal. Lalu karena satu-satunya pengendali banjir adalah bendungan tetangga, maka infrastruktur lain di rumah sendiri tak usah dibicarakan. Apalagi cuma gorong-gorong tersedak atau sungai tercekik. Lha wong pompa mampus saja tak masalah.

Pun, satu-satunya pengelolaan sungai yang benar hanyalah naturalisasi. Dan satu-satunya tugas pemprov hanyalah fokus pada penyelamatan warga.

Pencegahan banjir? Ah, itu urusan Pak Menteri.

Mengapa Anies begitu hobi mengisolasi satu faktor dan mengabaikan faktor-faktor lain? Ya karena blio sedang mengajari bangsa ini untuk berfikir saintifik.

Ingat eksperimen ilmiah? Jika kita hendak mengetahui pengaruh variabel A terhadap X, kita harus pastikan bahwa variabel B, C, D, E, F tidak turut campur secara ngawur. Dengan kata lain, peran mereka harus diakui sekaligus dikontrol atau dikendalikan. Bukan malah diabaikan.

Tapi, sekali lagi, prosedur itu hanya berlaku bagi ilmuwan biasa. Sedangkan Anies luar biasa, bukan?

Blio bisa memilih satu variabel yang disukai dan mengabaikan yang lain. Benar atau salah dalam penarikan kesimpulan tidak penting, sebab Anies adalah kebenaran itu sendiri.

5. Membawa kabar gembira

Pada akhirnya, ilmu pengetahuan haruslah membawa sukacita. Dan Anies menunjukkan itu. Banjir adalah wahana bagi anak-anak untuk bergembira.

Blio mengungkapkan, anak-anak yang tak terlanda banjir pun menyambangi lokasi banjir untuk bermain dan having fun. Oh, sungguh pemikiran kreatif yang relijiyes.

Bukankah menyayangi anak-anak adalah investasi amal untuk akhirat kelak?

Bencana banjir Jakarta terbukti membuka mata kita, betapa Indonesia sangat beruntung memiliki seorang intelektual yang visioner dan tak kenal lelah mencerdaskan kehidupan bangsa.

So, Anies Baswedan memang layak jadi presiden.

Kenapa tidak? Yakinlah, peluang itu terbuka lebar. Terutama selama masih banyak orang percaya, bahwa banjir adalah azab akibat terompet Yahudi dan kembang api Majusi dalam perayaan tahun baru yang menyobek langit hingga hujan tumpah jadi air bah. [mojokco]

slug . '" class="' . $tag->slug . '">' . $tag->name . ''; } } ?>