Bebek, Mikrofon, dan Omnibus Law


Ilustrasi omnibus-law, FOTO/IST


Seperti dua sisi mata uang, pengusaha dan buruh adalah dua pihak yang saling berkelindan. Butuh satu sama lain. Tak bisa yang satu untung yang lain buntung. Pengusaha tak ada buruh, siapa yang mau kerja. Sementara buruh tak ada lapangan kerja, ya mau ngerjain apa.

Sebenarnya keduanya punya hubungan kerja sama yang saling menguntungkan. Pengusaha perlu tenaga dan skill pekerjanya untuk menjalankan usaha, sementara pekerja perlu upah atas kerja yang sudah dilakukannya. Klop, sinergi yang ‘ngeklik’ sebenarnya.

Tapi pada hari ini kita disuguhi drama yang cukup menyedihkan. Semua diawali oleh disahkannya Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja menjadi Undang Undang dalam Rapat Paripurna DPR pada Senin (5/10/2020) lalu.

Sidang panas itu juga diwarnai dengan insiden ‘matinya’ mikrofon, tepat ketika seorang peserta rapat menginterupsi sang ketua sidang dan minta agar undang-undang ini dibatalkan. Hmm…, ternyata benar bahwa tidak pernah ada yang tahu kapan ‘kematian’ akan datang, pun untuk sebuah mikrofon!

Sontak, gelombang penolakan pun langsung menyeruak. Bahkan banyak demo yang berakhir ‘membara’ di banyak tempat. Ngeri pokoknya. Buruh, mahasiswa, bahkan pelajar berbondong turun ke jalanan menyuarakan ‘jeritan hati paling dalam’ dari kaum marjinal yang merasa ‘dizalimi’ dengan terbitnya Omnibus Law UU Cipta Lapangan Kerja tersebut. Undang-undang yang disahkan oleh wakilnya sendiri di DPR.

Dengan suara lantang, merekan berteriak bahwa UU tidak berpihak kepada buruh. Setidaknya ada lima pasal UU Cipta Lapangan Kerja yang ‘patut diduga’ bermasalah dan kontroversial sehingga membuat pekerja/buruh ‘naik pitam’.

Beberapa di antaranya adalah pemangkasan hari libur, penghapusan aturan soal jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak. Penghilangan aturan upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerja, upah pembayaran pesangon, serta upah perhitungan pajak penghasilan. Lalu, sanksi bagi pengusaha yang tidak bayar upah juga dihapuskan. Dan terakhir, penghapusan pasal permohonan PHK jika pekerja merasa dirugikan oleh perusahaan.

Mungkin sekarang para pekerja itu bingung ke mana mau berkeluh. Mau ngadu ke wakilnya di DPR, pekerja malu karena selama ini mereka merasa sudah diwakili. Bagaimana tidak, pekerja pengen hidup senang dan gaji besar, mereka yang wakili. Pekerja pengen punya rumah dan mobil mewah, mereka yang wakili. Pekerja pengen jalan-jalan ke luar negeri dibayarin negara, mereka juga yang wakili. Kurang apa coba?

Sebenarnya ada satu lagi harapan mereka untuk mengadukan hak-haknya yang teraniaya. The one and only…, presiden. Tapi sayang, mereka mendengar kabar, Pak Presiden sedang pergi ke Kalimantan lihat bebek. Astaga… [Samsu/KBH]

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You may use these HTML tags and attributes:

<a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>

slug . '" class="' . $tag->slug . '">' . $tag->name . ''; } } ?>