Demokrat Minta Pilkada Tak Digelar Tahun yang Sama Dengan Pilpres 2024


AKTUALITAS.ID – Partai Demokrat menginginkan normalisasi penyelenggaraan Pilkada tahun 2022 dan 2023 seperti dalam RUU Pemilu. Termasuk, Partai Demokrat juga menyetujui Pilkada DKI Jakarta digelar tahun 2022.

“Demokrat setuju normalisasi penyelenggaraan Pilkada 2022 dan 2023 dalam RUU Pemilu, termasuk di dalamnya Pilkada DKI digelar pada 2022,” ujar Kepala Badan Komunikasi Publik DPP Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra dalam keterangannya, Rabu (27/1/2021).

Partai Demokrat meminta Pilkada tidak digelar tahun yang sama dengan Pilpres dan Pileg di 2024. Herzaky menilai opsi Pilkada serentak secara nasional bisa digelar tahun 2027 atau di antara dua Pemilu nasional.

Herzaky mengingatkan, opsi apapun yang dipilih harus kesepakatan pemerintah dan partai politik di Senayan dalam merumuskan RUU Pemilu. Ia meminta semangat demokrasi dikedepankan dalam pengambilan keputusan. Jangan sampai pihak yang memaksakan Pilkada serentak 2024 karena alasan pragmatis demi menjegal tokoh politik yang potensial sebagai Capres 2024.

“Jangan sampai pula, ada pihak-pihak yang memaksakan Pilkada Serentak 2024 hanya karena ada kepentingan pragmatis atau agenda terselubung yang tidak pro rakyat, bahkan merugikan rakyat. Misalnya, mau menjegal tokoh-tokoh politik yang dianggap potensial sebagai capres,” kata Herzaky.

Alasan Demokrat menolak diserentakkan dengan Pilpres dan Pileg karena Pilkada sebagai momen masyarakat memilih pemimpin terbaik di daerahnya akan berkurang. Contoh nyata pada Pemilu 2019 ketika Pileg tenggelam dalam hiruk pikuk Pilpres.

“Begitu juga kemungkinan nasib Pilkada yang bakal dilaksanakan berdekatan dengan Pilpres,” kata Herzaky.

Lebih lanjut, ia menilai pertarungan Pilkada yang diserentakkan dengan Pilpres dan Pileg bisa jadi bukan lagi politik gagasan. Kompleksitasnya akan memunculkan tindakan ilegal seperti politik uang, politik gagasan dan penyalahgunaan jabatan.

Serta, jika Pilkada digelar pada 2024 maka akan ada waktu panjang daerah tidak dipimpin pejabat definitif. Apalagi di tengah pandemi Covid-19. Ada 272 yang dipimpin pejabat sementara dan sebagian merupakan episenturm Covid-19. Belum lagi tidak ada jaminan pandemi berakhir pada 2022 atau 2023.

“Ketiadaan kepala daerah definitif hasil pemilu membuat rentannya daerah karena penjabat kepala daerah tidak bisa membuat keputusan strategis. Banyak keputusan penting akan terhambat dan berujung pada upaya pencapaian program pemerintahan tidak dapat berjalan optimal,” jelas Herzaky.

Sementara, anggota Komisi II DPR RI Fraksi Demokrat Anwar Hafid menyinggung kembali masalah beban Pemilu 2019. Ada fenomena 894 petugas penyelenggara Pemilu meninggal dunia, dan 5.175 petugas sakit.

“Apalagi, kini kita akan menambahkan pemilihan kepala daerah serentak yakni Kabupaten dan Provinsi, tidak membayangkan bagaimana kacaunya proses pemilu yang akan kita hadapi jika ide penyatuan pemilu nasional dan lokal 2024 benar-benar terjadi,” kata Anwar.

slug . '" class="' . $tag->slug . '">' . $tag->name . ''; } } ?>