Rendahnya IPM, Ketua MPR Pertanyakan Anggaran Bengkak Kemendikbud


AKTUALITAS.ID – Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bambang Soesatyo mempertanyakan tingginya anggaran pendapatan dan belanja nasional (APBN) untuk pendidikan yang tak berbanding lurus dengan rendahnya indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia selama beberapa tahun terakhir.

Mengutip laporan United Nations Development Programme (UNDP), Bamsoet, sapaan akrabnya, menyebut IPM Indonesia pada 2020 Indonesia berada di peringkat 107 dari 189 negara. Peringkat itu bahkan kalah dari beberapa negara lain se-Asia Tenggara.

“Gambaran di atas tentunya mengundang pertanyaan sekaligus kekhawatiran kita bersama. Mengingat, kurun waktu 10 terakhir anggaran untuk pendidikan telah dialokasikan sebesar 20 persen dari APBN,” kata Bamsoet dalam webinar, Senin (3/5/2021).

Dalam laporan UNDP, Bamsoet merinci, peringkat Indonesia kalah dari Singapura di peringkat 11, Brunei Darussalam peringkat 47, Malaysia peringkat 62, dan Thailand peringkat 79.

Sebagai pembanding, survey kemampuan pelajar yang dirilis Programme for International Student Assessment juga menempatkan posisi Indonesia berada lebih rendah dari negara-negara lain di Asia Tenggara. Pada 2019, laporan itu menempatkan Indonesia di posisi 72 dari 77 negara.

“Masih tertinggal jauh dari Singapura yang berada di urutan 2, atau Malaysia di urutan 56,” ucap Bamsoet.

Berangkat dari situasi itu, Bamsoet mengatakan mutu kualitas pendidikan mestinya tak hanya disandarkan pada dukungan anggaran. Ia turut mempertanyakan implementasi konsep Merdeka Belajar Kemendikbud, yang tak boleh mengabaikan sejumlah pekerjaan rumah di bidang pendidikan.

Tiga di antaranya yakni, peningkatan kualitas tenaga pendidik, penyempurnaan sistem pendidik, dan pembenahan pendidikan. Di level perguruan tinggi, ucap Bamsoet, implementasi Kampus Merdeka juga harus diukur dari kemampuan kampus menghasilkan alumni yang berkualitas dan berdaya saing.

Bamsoet turut mengingatkan agar pemerintah tak lagi mengulang kelalaian dengan menempatkan Pancasila sebagai mata kuliah atau pelajaran wajib di perguruan tinggi dan sekolah. Sebab menurutnya, sekolah bukan saja dituntut menghasilkan siswa yang pintar, namun juga memiliki kepribadian unggul.

“Saya pun berharap kita tidak lagi mengulang kelalaian dan kealpaan untuk menempatkan Pancasila sebagai rujukan moral dalam pendidikan nasional kita,” katanya.

“Misalnya, tidak diimplementasikannya amanat UU untuk mewajibkan Pancasila dan bahasa Indonesia sebagai mata kuliah pada tata peraturan perundang-undangan di bawahnya. Tentu ini adalah bentuk pengingkaran yang harus kita koreksi bersama,” imbuhnya.

slug . '" class="' . $tag->slug . '">' . $tag->name . ''; } } ?>