Connect with us

POLITIK

PSHK: Pisahkan Pemilu Nasional-Daerah demi Kesehatan dan Keselamatan

Aktualitas.id -

Ilustrasi, Dok: aktualitas.id

AKTUALITAS.ID – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan jadwal Pemilihan Umum (Pemilu) nasional dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) mendapat dukungan kuat dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK). Alasannya cukup berat dan menyentuh: kesehatan serta keselamatan petugas pemilu.

Manajer Program PSHK, Violla Reininda, menyoroti kondisi yang sangat melelahkan dari penyelenggaraan Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pilkada secara serentak pada tahun 2024. Dia bahkan mengungkapkan data yang mengkhawatirkan: 209 petugas pemilu menghembuskan napas terakhir dalam menjalankan tugasnya.

“Tercatat di Pemilu 2024 ada 181 penyelenggara di tingkat teknis yang berpulang, di Pilkada ada 28 petugas yang meninggal di 2024 lalu,” beber Violla dalam Webinar Constitutional and Administrative Law Society (CALS) via Zoom, Minggu (6/7/2025).

Menurut Violla, angka korban jiwa tersebut menunjukkan faktor kesehatan dan keamanan penyelenggara pemilu belum menjadi perhatian utama pembentuk kebijakan, yaitu Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. “Jadi, soal kesehatan dan juga keamanan dari penyelenggara (pemilu) itu bukan satu hal yang dipikirkan secara cukup… Sehingga kita kembali lagi menemukan kasus-kasus penyelenggara di level teknis itu kelelahan,” jelasnya.

Violla melihat putusan MK ini sebagai sebuah pencerahan mengenai timeline penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Ia menganggap putusan tersebut telah menjawab keluhan publik dan menanggapi tantangan nyata. “One is too many, apalagi ratusan orang yang harus gugur karena kelelahan menyelenggarakan pemilu dan juga pilkada di waktu yang berdekatan. Seharusnya ini menjadi catatan pembentuk undang-undang,” tutur Violla.

Dia mengharapkan putusan MK ini menjadi refleksi bagi DPR, Pemerintah, dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam menyusun Undang-Undang (UU) pemilu di masa depan. Tujuannya adalah menciptakan aturan yang lebih mudah dan sederhana bagi seluruh pemangku kepentingan. “Dengan adanya putusan MK ini sebetulnya jadi bahan refleksi dan satu penyelarasan yang perlu ditangkap… Ketika menyusun undang-undang kepemiluan bagaimana memformulasikan satu ketentuan undang-undang yang juga ditunjukkan untuk memberikan kemudahan dan kesederhanaan,” tandasnya.

Putusan MK ini mengabulkan permohonan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) untuk memisahkan penyelenggaraan Pemilu nasional (Pilpres, DPR, DPD) dengan Pemilu daerah (Pilkada, DPRD). Jeda waktu yang diatur adalah paling singkat dua tahun dan paling lama dua tahun enam bulan.

Reaksi dari kalangan akademisi juga tiba. Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar (Uceng) memuji putusan MK dan menyerukan fokus pemerintah serta DPR RI pada isinya, bukan sekadar persoalan transisi masa jabatan. Ia mendorong pihak terkait untuk membuang kepentingan politik dan mulai merumuskan sistem pemilu yang lebih baik dalam jangka waktu 2,5 tahun mendatang.

“Kita masih ada waktu sekitar 4 tahun menuju pemilu berikutnya … Saya ingin mengatakan, kita punya waktu 2,5 tahun untuk memikirkan bagaimana sistem kepemiluan kita memadai. Bagaimana mengenyahkan politik uang, bagaimana menyelesaikan kelembagaan, bagaimana kemudian menyelesaikan sistem kepemiluan, bagaimana menyelesaikan model kandidasi,” jelas Uceng.

Kesetiaan petugas pemilu yang diwujudkan dengan korban jiwa diharapkan tidak sia-sia. Harapan terbesar adalah putusan MK ini dapat menjadi langkah awal menuju sistem pemilu yang lebih manusiawi, aman, dan efektif di Indonesia. (Ari Wibowo/Mun)

TRENDING