Hijrah yang Dibenci TNI


SAIJAH DAN ADINDA. Rombongan prajurit Siliwangi dan keluarganya yang akan dilepas di garis perbatasan wilayah RI dengan “wilayah” Belanda. (foto:IPPHOS)

HUTAN Rawakalong, Sumedang pada pertengahan Januari 1948. Kapten Sentot Iskandardinata menatap tajam Letnan Muda Soedarja. Ketika perwira pertama itu menyampaikan pesan Kolonel A.H. Nasution bahwa seluruh pasukan TNI (termasuk Batalyon 27 Tarumangera yang dipimpinnya) diwajibkan melakukan gencatan senjata dengan Belanda, Sentot menyatakan ketidakpercayaannya. Terlebih sebagai konsekuensi dari Perjanjian Renville, seluruh kekuatan Divisi Siliwangi harus meninggalkan Jawa Barat menuju Jawa Tengah dan Yogayakarta.

“Apakah kamu tidak salah mendengar perintah,Letnan?” tanya Kapten Sentot.

“Jika Kapten tak percaya, ini saya bawakan koran-koran yang memuat hasil perjanjian dengan Belanda itu,” ujar Soedarja sambil menyodorkan seberkas dokumen. Alih-alih menerimanya, Sentot malah menatap kosong tumpukan-tumpukan kertas tersebut.

Kekekecewaan yang sama juga dirasakan oleh Letnan Kolonel A.E. Kawilarang, Komandan Brigade II Surjakantjana Divisi Siliwangi. Ketika menerima perintah itu lewat Letnan Islam Salim, dia betul-betul terkejut luar biasa. Walau terpaksa menerimanya, hati Kawilarang tak bisa menyembunyikan kekesalannya kepada pemerintahnya.

“Bukan main bencinya saya, ketika mendengar kabar itu. Seperti (mendengar) halilintar di siang bolong rasanya. Tapi kami mampu menguasai diri: tunduk kepada perintah atasan, perintah (pemerintah) pusat,” ujar Kawilarang dalam otobiografinya, Untuk Sang Merah Putih (disusun oleh Ramadhan KH).

Awal Februari 1948, para prajurit Siliwangi mulai keluar dari hutan dan gunung di seluruh Jawa Barat. Mereka bukan saja membawa diri mereka masing-masing tetapi ada juga yang mengikutsertakan seluruh anggota keluarganya. Menurut buku Hijrah Siliwangi yang diterbitkan oleh Dinas Pembinaan Mental Angkatan Darat, jumlah keseluruhan peserta hijrah adalah 30.000 orang.

Sebagai titik temu seluruh rombongan Divisi Siliwangi dari pelosok Jawa Barat, dipilihlah Cirebon. Dari kota udang tersebut, mereka berangkat ke wilayah Republik dengan menggunakan tiga cara: diangkut dengan kapal laut menuju Rembang, menggunakan kereta api hingga Yogyakarta dan berjalan kaki hingga Wonosobo atau Gombong. Selanjutnya dari kedua kota itu, rombongan menggunakan kereta api dan truk menuju Yogyakarta dan sekitarnya.

Saat menuju tempat tujuan hijrah inilah, pihak Belanda dikejutkan dengan performa prajurit-prajurit Siliwangi. Kendati berpakaian compang-compang, mereka tetap menunjukan disiplin tinggi laiknya tentara profesional.

Termasuk saat seluruh prajurit harus menyerahkan senjata masing-masing guna diangkut secara terpisah, sesuai kesepakatan dengan pihak pengawas dari Komisi Tiga Negara (KTN).

“Berbeda dengan penggambaran yang kerap ditulis koran-koran Belanda bahwa TNI itu sejenis kumpulan perampok dan ekstrimis, mereka justru terlihat seperti pasukan yang sangat teratur dan memiliki disiplin…” ujar Piere Heyboer dalam De Politionele Acties.

Namun tak ayal, pandangan merendahkan tetap diperlihatkan oleh pasukan Belanda, terutama para serdadu yang sebelumnya kerap terlibat dalam pertempuran brutal dengan anak-anak Siliwangi. Unit KST (Korps Pasukan Khusus) dan Batalyon Andjing NICA misalnya. Saat pelaksanaan hijrah, mereka sering berlaku sinis dan menghina seperti dilakukan kepada para prajurit dari Brigade II Surjakantjana.

Ceritanya, sebelum bergerak ke titik kumpul di Cirebon, pasukan Siliwangi dari wilayah Cianjur, Sukabumi dan Bogor, yang langsung di pimpin Letnan Kolonel A.E. Kawilarang menunggu dahulu di Purabaya (suatu kawasan dekat Cimahi). Mereka dikawal secara ketat oleh satu kompi baret hijau Angkatan Darat Kerajaan Belanda (KST) pimpinan Letnan Pertama Henk Ulrici, yang merupakan tangan kanan Kapten R.P.P. Westerling.

Karena merasa berlarut-larut dan tidak pasti, pada suatu kesempatan Kawilarang menanyakakan kepada Ulrichi: kapan pasukannya akan dibawa ke Cirebon? Ulrici menjawab dengan suara keras:“Ya spoedig. Maar die gekke Kapitein Soegih Arto heft zich nog niet over gegeven en wij weten niet waar hij is” ( Ya, secepatnya, tetapi Si Gila Kapten Soegih Arto–Komandan Batalyon 22–itu belum menyerah dan kami tidak tahu di mana dia sekarang).

“Kepergian Siliwangi tidak ada hubungannya dengan kata “menyerah”! Ini adalah atas dasar perjanjian Indonesia dengan Belanda! Letnan, kalau bicara harus hati-hati dan jangan berteriak-teriak kepada saya!”demikian seperti dipaparkan Soegih Arto dalam biografinya, Pengalaman Pribadi Letjen (Purn) Soegih Arto.

Belum habis rasa marah Kawilarang, tiba-tiba seorang sersan baret hijau beretnis Minahasa (satu etnis dengan Kawilarang) melapor kepada Ulrici bahwa satu lagi kelompok “rampokers” telah datang dan siap bergabung dengan rombongan besar. Tanpa banyak cakap, Kawilarang mendekati Si Sersan itu dan langsung memakinya habis-habisan. Usai dimaki-maki, alih-alih melawan, Si Sersan itu langsung ngeloyor pergi.

Sumber: Historia

slug . '" class="' . $tag->slug . '">' . $tag->name . ''; } } ?>