Connect with us

NASIONAL

RUU TNI disahkan, Anggota DPD RI: Langkah Mundur Demokrasi dan Merugikan Daerah

Aktualitas.id -

AKTUALITAS.ID – Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI), Hilmy Muhammad mengkritik dengan tegas Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) yang baru saja disahkan dalam Rapat Paripurna ke-15 DPR RI, Kamis (20/03/2025).

Menurutnya, aturan baru ini tidak hanya mengancam demokrasi dan reformasi militer, tetapi juga dapat menghambat pembangunan daerah.

“RUU TNI ini bukan sekadar langkah mundur bagi demokrasi, tapi juga berisiko mengaburkan batas antara peran militer dan sipil. Dengan adanya aturan ini, mekanisme kebijakan yang seharusnya berbasis kebutuhan masyarakat bisa bergeser menjadi lebih berorientasi pada pendekatan keamanan,” ujar pria yang akrab disapa Gus Hilmy dalam keterangannya kepada Aktualitas.id, Kamis (20/3/2025).

Baca Juga: Menkum Pastikan RUU TNI Batasi Penempatan Prajurit Aktif di 14 Institusi!

Salah satu poin yang paling disorotnya adalah peluang bagi perwira aktif TNI untuk menduduki jabatan di kementerian dan lembaga sipil, termasuk pemerintahan daerah. Menurut Senator asal D.I. Yogyakarta ini, hal tersebut bertentangan dengan prinsip supremasi sipil dalam demokrasi.

“Militer seharusnya fokus pada pertahanan negara, bukan malah bersaing dengan sipil dalam urusan pemerintahan. Ini seperti ada disorientasi pembangunan pasca-reformasi, seolah mereka tidak percaya pada sipil dan memilih mengintervensi pemerintahan yang lahir dari proses demokrasi,” tegasnya.

Lebih lanjut, Gus Hilmy menilai bahwa jika RUU ini diterapkan, kebijakan daerah bisa didominasi oleh pendekatan militer, bukan kesejahteraan dan keadilan sosial. “Bayangkan saja, kalau nanti militer masuk ke pemerintahan daerah, yang terjadi pasti kontrol militer terhadap kebijakan pembangunan. Alih-alih berbasis partisipasi publik, daerah bisa mengalami stagnasi,” jelasnya.

Baca Juga: Faizal Assegaf Tegaskan Penggunaan Supremasi Sipil tak Ada dalam Konstitusi

Menurutnya, tidak ada urgensi bagi militer untuk terlibat dalam pemerintahan. Jika kekhawatiran yang muncul adalah lemahnya nasionalisme, ia menawarkan solusi lain berupa pembinaan wawasan nusantara.

“Coba lihat kondisi dalam negeri, aman. Kebijakan luar negeri kita juga non-blok, nggak ganggu kiri kanan. Jadi, apa yang ditakutkan?! Kalau memang ada kekhawatiran soal nasionalisme, solusinya bukan dengan wajib militer atau intervensi pemerintahan, tapi dengan pembinaan wawasan kebangsaan. TNI dan Polri sebaiknya kembali ke tugas pokoknya, bukan masuk terlalu jauh ke ranah sipil,” tegasnya.

Gus Hilmy juga mengingatkan bahwa masuknya militer ke dalam pemerintahan berpotensi menghidupkan kembali praktik Dwifungsi ABRI yang pernah menjadi masalah besar di masa lalu.

“Dengan adanya RUU ini, keputusan di daerah bisa lebih banyak dipengaruhi pendekatan militer dibanding kesejahteraan sosial. Ini seperti ingin memutar jarum sejarah kembali ke era Orde Baru. Anggaran bisa lebih banyak tersedot ke sektor pertahanan dan keamanan, yang pada akhirnya mengorbankan rakyat kecil,” tambahnya.

Ia pun mengajak seluruh elemen masyarakat, akademisi, organisasi masyarakat sipil, serta para tokoh bangsa untuk terus mengawasi implementasi UU TNI ini agar tidak merugikan demokrasi dan pembangunan daerah.

“Kita harus cermat dalam melihat bagaimana UU ini akan dijalankan. Tugas kita bersama adalah mengawasi ketimpangan pembangunan yang mungkin terjadi,” pungkasnya. (Ari Wibowo/Kiki Budi Hartawan)

TRENDING