Nasib KPK Diujung Tanduk!


kpk, korupsi,
Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). AKTUALITAS.ID / Kiki Budi Hartawan.

AKTUALITAS.ID – Wacana pelemahan terhadap KPK dalam melakukan pemberantasan korupsi saat ini kembali menguat dan mencuri perhatian publik. Belum selesai dengan persoalan mengenai proses seleksi Calon Pimpinan KPK yang dianggap bermasalah, kali ini ditambah lagi dengan dilakukannya revisi terhadap UU KPK oleh DPR. Hal ini yang kemudian menguatkan bahwa KPK memang akan dilemahkan secara kelembagaan.

Revisi terhadap UU KPK sejatinya bukan hal yang dilarang karena memang menjadi bagian dari kewenangan DPR. Namun yang menjadi problem adalah proses dalam melakukan revisi UU KPK yang dilakukan dengan cepat dan diam-diam karena publik hanya mengetahui ketika revisi UU KPK telah disahkan pada akhir periode DPR saat ini.

DPR periode saat ini menjadi lembaga yang mendapat tingkat kepercayaan publik yang rendah. Hal ini tentunya idasari pada alasan bahwa DPR merupakan salahsatu lembaga yang terkorup, dibuktikan dengan pimpinan DPR yang terlibat dalam tindak pidana korupsi. Selain itu, DPR juga memiliki kinerja yang buruf karena tidak produktif dalam menjalankan kewennagannya dibidang legislasi, terbukti dengan dari 186 RUU yang diajukan, hanya 46 yang mampu disahkan oleh DPR.

Produk legislasi juga menjadi sorotan publik, karena banyak UU yang dijudicial review ke Mahkamah Konstitusi. Hal ini menunjukkan bahwa DPR tidak representatif terhadap aspirasi masyarakat dalam membentuk UU. Dengan demikian, konsep jabatan sebagai anggota DPR yang mewakili aspirasi politik masyarakat tidak terpenuhi.

Jika menelusuri lebih jauh, dapat ditarik satu benang merah yang terhubung dari beberapa peristiwa yang terjadi belakangan ini, sehingga memunculkan kesimpulan bahwa adanya pelemahan terhadap KPK, yaitu: DPR sebagai lembaga terkorup yang dapat dikatakan risih dengan adanya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK, masuknya calon yang bermasalah dalam seleksi Calon Pimpinan KPK, hingga direvisinya UU KPK yang khusus mengatur mengenai penyidik KPK yang berasal dari kepolisian dan kejaksaan.

Wacana pelemahan terhadap KPK dalam melakukan pemberantasan korupsi saat ini kembali menguat dan mencuri perhatian publik. Belum selesai dengan persoalan mengenai proses seleksi Calon Pimpinan KPK yang dianggap bermasalah, kali ini ditambah lagi dengan dilakukannya revisi terhadap UU KPK oleh DPR. Hal ini yang kemudian menguatkan bahwa KPK memang akan dilemahkan secara kelembagaan.

Revisi terhadap UU KPK sejatinya bukan hal yang dilarang karena memang menjadi bagian dari kewenangan DPR. Namun yang menjadi problem adalah proses dalam melakukan revisi UU KPK yang dilakukan dengan cepat dan diam-diam karena publik hanya mengetahui ketika revisi UU KPK telah disahkan pada akhir periode DPR saat ini.

DPR periode saat ini menjadi lembaga yang mendapat tingkat kepercayaan publik yang rendah. Hal ini tentunya idasari pada alasan bahwa DPR merupakan salahsatu lembaga yang terkorup, dibuktikan dengan pimpinan DPR yang terlibat dalam tindak pidana korupsi. Selain itu, DPR juga memiliki kinerja yang buruf karena tidak produktif dalam menjalankan kewennagannya dibidang legislasi, terbukti dengan dari 186 RUU yang diajukan, hanya 46 yang mampu disahkan oleh DPR.

Produk legislasi juga menjadi sorotan publik, karena banyak UU yang dijudicial review ke Mahkamah Konstitusi. Hal ini menunjukkan bahwa DPR tidak representatif terhadap aspirasi masyarakat dalam membentuk UU. Dengan demikian, konsep jabatan sebagai anggota DPR yang mewakili aspirasi politik masyarakat tidak terpenuhi.

Jika menelusuri lebih jauh, dapat ditarik satu benang merah yang terhubung dari beberapa peristiwa yang terjadi belakangan ini, sehingga memunculkan kesimpulan bahwa adanya pelemahan terhadap KPK, yaitu: DPR sebagai lembaga terkorup yang dapat dikatakan risih dengan adanya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK, masuknya calon yang bermasalah dalam seleksi Calon Pimpinan KPK, hingga direvisinya UU KPK yang khusus mengatur mengenai penyidik KPK yang berasal dari kepolisian dan kejaksaan.

Harapan masyarakat tentunya masih sangat besar kepada DPR disisa jabatannya untuk melakukan gebrakan melalui produk legislasi, tidak gayung bersambut dengan praktek yang ada saat ini. Begitu juga, mayoritas publik sudah muak dengan praktek korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara di negeri ini, sehingga jalan satu-satunya yang ditempuh seharusnya adalah menguatkan KPK dan mengawal KPK dalam melakukan pemberantasan korupsi.

Oleh karenanya, pilihan yang paling tepat jika kemudian produk legislasi mengarah pada aturan mengenai seleksi Calon Pimpinan KPK agar terhindar dari orang-orang yang bermasalah dan kewenangan KPK yang terus dikuatkan dalam melakukan pemberantasan korupsi. Kejadian ini kembali menyadarkan masyarakat bahwa aspirasi itu dalam hal ini tidak lagi diarahkan pada parlemen, melainkan secara langsung dilakukan melalui gerakan civil society untuk mengawal KPK dalam pembarantasan korupsi.

Penulis adalah : Ketua Komisi Hukum PB HMI ,Muhtar yogasara

slug . '" class="' . $tag->slug . '">' . $tag->name . ''; } } ?>