Redam Gerakan Pro-Demokrasi, China Setujui Rombak Sistem Pemilu Hong Kong


China dianggap berupaya meredam gerakan pro-demokrasi dengan menyetujui perombakan besar-besaran sistem pemilihan umum Hong Kong dengan mengurangi jumlah kursi perwakilan di parlemen yang dipilih secara langsung oleh rakyat.

Kantor berita China, Xinhua, melaporkan bahwa badan utama legislatif China, Komite Tetap Kongres Rakyat Nasional, meloloskan perubahan sistem pemilu ini lolos tanpa hambatan pada Selasa (30/3).

Dengan perombakan sistem pemilu ini, jumlah perwakilan parlemen yang dapat dipilih langsung berkurang dari semula 35 menjadi 20 kursi.

Sementara itu, jumlah kursi perwakilan di legislatif meningkat dari semula 70 menjadi 90 kursi. Anggota Komite Pemilihan Hong Kong yang bertanggung jawab memilih kepala eksekutif juga meningkat dari 1.200 menjadi 1.500 anggota.

Selain itu, perombakan sistem perwakilan Hong Kong juga meliputi pembubaran 117 perwakilan dewan distrik tingkat komunitas pada komite pemilihan.

Sebagaimana dilansir Reuters, dewan distrik adalah satu-satunya lembaga yang sepenuhnya demokratis di Hong Kong. Hampir 90 persen dari 452 kursi dewan distrik dikuasai oleh kubu demokrasi setelah pemungutan suara 2019 lalu.

Dewan distrik selama ini banyak menangani masalah akar rumput, seperti jaringan transportasi umum dan pengumpulan sampah.

Lebih dari itu, enam kursi dewan distrik pada Dewan Legislatif juga akan dicabut.
Setia kepada China

Salah satu perombakan yang mencolok lainnya adalah komite pemeriksaan akan memantau kesetiaan setiap pejabat Hong Kong kepada China.

Komite pemeriksaan akan bekerja sama dengan otoritas keamanan nasional dalam memeriksa latar belakang calon pejabat publik.

Pihak berwenang China mengatakan bahwa perombakan dilakukan untuk mengurangi “celah dan kekurangan” yang mengancam keamanan nasional, terutama setelah kerusuhan anti-China pada 2019.

Selain itu, Beijing menyatakan perombakan sistem pemilu Hong Kong ini juga dilakukan untuk memastikan hanya “patriot” sejati yang bisa memerintah wilayah otonomi tersebut.

Perombakan ini dianggap sebagai yang paling signifikan dilakukan China terhadap sistem politik Hong Kong sejak pengambilalihan dari Inggris pada 1997.

Para oposisi menganggap perombakan ini menggerakkan Hong Kong ke arah yang berlawanan dari janji China pada 1997.

Pasalnya, dalam Undang-Undang Dasar Hong Kong, China menjamin otonomi luas, menjanjikan hak pilih universal, hingga kebebasan berbicara.

Pada Juni lalu, China juga memberlakukan UU Keamanan Hong Kong baru yang dinilai semakin membuat Hong Kong jatuh ke dalam pemerintahan Beijing yang otoriter.

Dengan UU Keamanan itu, China menahan banyak tokoh demokrasi Hong Kong hingga mendiskualifikasi politikus pro-demokrasi dari badan legislatif wilayah itu.

slug . '" class="' . $tag->slug . '">' . $tag->name . ''; } } ?>