Iuran BPJS Kesehatan Naik, Ahli Hukum Tata Negara Sebut Inkonstitusional


ISIMEWA

AKTUALITAS.ID – Ahli Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Fahri Bachmid, menyatakan kebijakan Presiden Jokowi terkait penaikan iuran BPJS Kesehatan berpotensi melanggar kaidah hukum berdasarkan putusan Mahkamah Agung.

“Perpres kenaikan Iuran BPJS Kesehatan itu sedikit bermasalah tentunya jika dilihat dan dikaji dari sudut ilmu hukum,” ujar Fahri, Kamis, (14/5/2020).

Fahri menuturkan MA sudah mengeluarkan putusan terkait kebijakan Jokowi dalam menaikkan tarif iuran BPJS Kesehatan beberapa waktu yang lalu. Dalam perkara Hak Uji Materil Nomor: 7P/HUM/2020 itu diputuskan oleh Majelis Hakim bahwa Perpres Nomor 75 Tahun 2019 pada prinsipnya dinilai bertentangan dengan ketentuan norma pasal 23A, pasal 28H dan pasal 34 UUD NRI Tahun 1945.

Selain norma konstitusional tersebut, Perpres a quo juga dinilai bertentangan dengan ketentuan pasal 2, pasal 4, pasal 17 ayat (3) UU RI No. 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN), serta ketentuan pasal 2, pasal 3, pasal 4 UU RI No. 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (UU BPJS), dan ketentuan pasal 5 ayat (2) Jo. Pasal 171 UU RI No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.

“Dengan konsekuensi setelah dibatalkannya Perpres Nomor 75/2019 terkait aturan kenaikan iuran BPJS Kesehatan, maka kembali ke tarif iuran sebelumnya seperti diatur dalam ketentuan pasal 34 Perpres No. 82 Tahun 2018,” kata Fahri.

Fahri menjelaskan di dalam ketentuan Perpres Nomor 82 Tahun 2018 memang mensyaratkan bahwa iuran ditinjau paling lama dua tahun. Tetapi berdasarkan pertimbangan hukum hakim MA yang mengadili perkara a quo telah menegaskan untuk melihat kondisi riil daya beli masyarakat. Dengan demikian, hal ini perlu dilakukan agar sejalan dan selaras dengan hak konstitusional rakyat untuk mendapatkan jaminan kesehatan.

“Pada hakikatnya putusan MA telah membuat kaidah hukum terkait pelarangan kepada pemerintah untuk menaikan iuran BPJS Kesehatan adalah telah bersifat final dan mengikat. Sifat putusan itu adalah “ergo omnes” yang pada dasarnya adalah mengikat lembaga negara, termasuk lembaga kepresidenan, sehingga tidak dapat ditafsirkan lain selain daripada yang telah ditentukan oleh MA dalam putusan itu. Suka atau tidak suka, itu telah menjadi hukum, sehingga putusan MA itu wajib dijalankan sebagaimana mestinya, tidak boleh membuat tafsiran lain,” kata Fahri.

Bisa Digugat Lagi

Fahri menambahkan putusan MA atas Perpres tersebut didasarkan atas UU Mahkamah Agung, pasal 31 ayat (1) yang mengatur bahwa MA mempunyai wewenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU. Kemudian ayat (2), MA berhak menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.

Lalu ayat (3), putusan mengenai tidak sahnya peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diambil baik berhubungan dengan pemeriksaan pada tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung pada MA. Selanjutnya ayat (4), bahwa peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mempunyai kekuatan mengikat.

Oleh karena itu, setiap produk peraturan perundang-undangan yang telah dibatalkan oleh MA, dengan demikian tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dan tidak dapat digunakan lagi, apalagi dihidupkan kembali norma yang sudah dibatalkan itu.

Fahri berharap presiden sebagai “adresat” (subjek norma) tidak melakukan perbuatan “constitution disobediance” atau “law disobediance” sehingga sangat merugikan pemerintahan karena mengeluarkan Perpres No. 64 Tahun 2020, yang sebelumnya MA sudah mengeluarkan putusan tidak ada kenaikan tarif iuran BPJS Kesehatan.

Dia mengakui presiden memang mempunyai kewenangan konstitusional untuk mengatur urusan pemerintahan, termasuk memastikan bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup layak dan meningkatkan martabatnya menuju masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur, sebagai mana dijamin dalam konstitusi. Namun demikian, presiden juga punya kewajiban konstitusional untuk senantiasa mempedomani kaidah-kaidah hukum yang berlaku termasuk putusan MA.

“Secara yuridis, jika dilihat dari keberlakuan Perpres No. 64 Tahun 2020 ini sangat potensial untuk digugat kembali (diuji meteril) ke MA oleh pihak-pihak yang berkepentingan jika materi muatan yang ada di dalam Perpres ini dinilai masih bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dalam konteks ini adalah UU RI No. 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, dan UU RI No. 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelengaraan Jaminan Sosial, serta UU RI No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan,” kata Fahri.

slug . '" class="' . $tag->slug . '">' . $tag->name . ''; } } ?>