Connect with us

NASIONAL

UU Polri Digugat ke MK: Advokat Soroti Pasal “Wewenang Tak Terbatas” Aparat

Aktualitas.id -

Ilustrasi, Dok: aktualitas.id

AKTUALITAS.ID – Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri) kembali menjadi sorotan. Dua orang advokat, Syamsul Jahidin dan Ernawati, secara resmi menggugat UU Polri ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (2/6/2025). Gugatan ini menyasar Pasal 18 ayat (1) UU Polri beserta penjelasannya, yang dinilai membuka lebar celah bagi penyalahgunaan wewenang oleh oknum kepolisian.

Pasal 18 ayat (1) UU Polri menyatakan: “Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.”

Penjelasannya menambahkan: “Yang dimaksud dengan ‘bertindak menurut penilaiannya sendiri’ adalah suatu tindakan yang dapat dilakukan oleh anggota Polri yang dalam bertindak harus mempertimbangkan manfaat serta risiko dari tindakannya dan betul-betul untuk kepentingan umum.”

Syamsul Jahidin, Pemohon I, menjelaskan frasa ‘bertindak menurut penilaiannya sendiri’ sangat multitafsir dan tidak memiliki parameter yang jelas. Menurutnya, hal ini berpotensi disalahgunakan aparat untuk kepentingan pribadi atau politik tertentu, dengan dalih kepentingan umum.

“Sebagai advokat yang kerap mendampingi klien baik di dalam maupun di luar pengadilan, saya merasa pasal ini rawan disalahgunakan oleh aparat. Frasa tersebut sangat multitafsir dan tidak memiliki parameter yang jelas, sehingga aparat bisa bertindak sewenang-wenang dengan mengatasnamakan kepentingan umum,” ujar Syamsul di ruang sidang MK.

Para Pemohon juga menyoroti tidak adanya definisi yang jelas mengenai ‘kepentingan umum’ dalam pasal tersebut, yang justru memicu penafsiran subjektif. Mereka berpendapat, ‘kepentingan umum’ seharusnya merupakan konsep hukum yang memiliki batasan dan diawasi oleh norma objektif, bukan diserahkan sepenuhnya kepada aparat.

Selain itu, gugatan ini menyoroti lemahnya mekanisme kontrol terhadap pelaksanaan pasal ini, meskipun ada pengawasan internal seperti Bidang Profesi dan Pengamanan (Propam) dan pengawasan eksternal oleh Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Dalam praktiknya, Pemohon menilai aparat tetap dapat menggunakan Pasal 18 ayat (1) sebagai tameng untuk membenarkan tindakan yang berlebihan atau melampaui wewenang.

Kondisi ini, kata Syamsul, berpotensi menyebabkan tidak adanya jaminan kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan. Ia bahkan menceritakan pengalaman pribadinya di Kalimantan Barat, di mana ia mengalami hambatan dalam memperoleh informasi dan kepastian hukum dari institusi kepolisian, khususnya dari Bidang Propam Polda Kalbar.

“Pasal ini bukan hanya rawan multitafsir, tapi juga berpotensi menjadi alat pembungkaman terhadap pihak-pihak yang dianggap mengganggu citra kepolisian atau bahkan terhadap lawan politik,” tegas Syamsul.

Atas dasar itu, Para Pemohon meminta MK untuk menyatakan pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Menanggapi permohonan ini, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh menyarankan agar permohonan disusun secara lebih sistematis dan ringkas, serta mencermati legal standing Pemohon. Sidang selanjutnya akan membahas perbaikan permohonan dari para penggugat. (Ari Wibowo/Mun)

TRENDING