Saat Khutbah Rasulullah di Pernikahan Ali dan Fatimah


“Allah Yang Maha tinggi dan Maha mulia telah menjadikan perkawinan sebagai sarana perolehan keturunan. Itu dijadikannya jalan yang wajib, ketetapan hukum yang adil serta dijadikan-Nya sarana perolehan kebajikan yang sempurna. Dengan perkawinan, Allah memperkukuh tali kekerabatan, lalu itu semua diwajibkan-Nya kepada putra-putri Adam. Allah Yang Mahatinggi dan Mahamulia berfirman: ‘Dia lah yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia menjadikannya berpotensi memiliki keturunan dan menjalin ikatan periparan dan adalah Tuhanmu Mahakuasa’.” (QS al-Furqan: 54).

“Semua urusan Allah mengalir menuju qadha dan qadar-Nya meng alir menuju takdir-Nya. Segala sesuatu ada batas waktunya dan setiap batas waktu termaktub dalam kitab-Nya. Allah menghapus yang Dia kehendaki dan Dia juga menetapkan apa yang Dia kehendaki. Namun, di sisi Allah, ada induk al-Kitab, yakni pengetahuan Yang Maha luas dan yang tidak pernah berubah.”

Demikian kutipan khutbah pernikahan Rasulullah SAW saat menikahkan Sayyidatina Fatimah dengan Ali bin Abi Thalib RA. Dalam khutbah yang singkat tersebut, Baginda Nabi Muhammad SAW berulangkali mengingatkan tentang kodrat kuasa Allah. Kuasa-Nya itu bukan saja dalam ketentuan-ketentuan hukum agama yang harus ditaati, baik dalam memilih calon pasangan maupun dalam proses ijab dan qabul. Namun, juga kuasa-Nya menetapkan sistem yang dapat melahirkan kelanggengan perkawinan atau kegagalanna bahkan kuasa-Nya menjalin cinta antarmanusia.

Tiada sesuatu pun yang luput dari kuasa dan urusan Allah. Dalam urusan perkawinan, ada sistem yang ditetapkan-Nya. Ia bisa langgeng dan bahagia apabila pasangan bersangkutan meng ikuti sistem yang ditetapkan-Nya untuk kelanggengan dan kebahagiaan- Nya. Sebaliknya, pernikahan akan gagal bila ada langkah yang kadarnya dalam sistem yang ditetapkan-Nya itu melahirkan dampak kegagalan. Itu sebagian yang dimaksud ucapan Nabi SAW: “Segala sesuatu ada batas waktunya dan setiap batas waktu termaktub dalam kitab-Nya.”

Baik kelanggengan dan perceraian tidak keluar dari sistem yang telah ditetapkan-Nya dalam tak dir-Nya. Manusia dipersilakan memilih dan menelusuri jalan-jalan yang sudah tersedia. Sebagai makhluk yang kerap khilaf, tidak heran manusia kerap salah lang kah. Termasuk dalam memilih jalan perkawinan ini.

Kendati demikian, Rasulullah mengingatkan pula dalam akhir sabdanya bahwa meski sudah ada sistem yang ditetapkan-Nya, masih ada juga rahmat Allah SWT. Dia masih dapat mengubah ketetapan- Nya karena itu dalam pesan di atas, Rasulullah SAW me lanjutkan dengan membaca firman Allah: “Allah menghapus yang Dia kehendaki dan Dia juga menetapkan apa yang Dia kehendaki, namun di sisi Allah ada induk al-Kitab.” (QS ar-Ra’d: 39).

Induk itu adalah pengetahuan yang mahaluas dan yang tidak pernah berubah. Allah menghapus kalau ada kesungguhan berdoa setelah upaya maksimal sudah dilakukan untuk mewujudkan apa yang didambakan. Karena itu, setiap orang dituntut untuk berdoa agar Allah menetapkan yang terbaik untuknya.

Tujuan Pernikahan

Selain berkembang biak, ma nusia memiliki tujuan pernikahan yang berbeda dengan binatang. Tujuan tersebut adalah agar manusia menjadi khalifah di dunia ini. Mereka bisa bekerja sama membangun alam sesuai dengan tuntunan Allah SWT.

“Di antara tanda-tanda (kebesaran dan kekuasaan-Nya) adalah bahwa Dia yang menciptakan untuk kamu (hai manusia) dari jenis kamu sendiri pasanganpasangan agar kamu merasa tenteram kepadanya dan dijadikan di antara kamu (potensi) mawadah dan rahmat.” (QS ar-Rum: 21).

Potensi cinta kasih, mawadah, dan rahmah yang dianugerahkan Allah kepada pasangan suami istri adalah untuk satu tugas yang berat tetapi mulia. Malaikat pun berkeinginan untuk melakukannya. Namun, kehormatan itu Allah serahkan kepada manusia.

Agar tugas itu dapat dipikul, maka Allah menciptakan naluri kecenderungan kepada lawan seks, anak, dan aneka harta benda. Naluri seksual itu menjadikan manusia mampu melanjutkan generasi dan membangun dunia ini.

Meski demikian, seksualitas bukanlah satu-satunya tujuan pernikahan. Tujuan terdekat yakni meraih sakinah yang bermakna ketenangan. Kata ini tidak digunakan kecuali untuk menggambarkan ketenangan dan ketenteraman setelah sebelumnya ada gejolak yang bernama cinta. Sakinah harus didahului oleh gejolak menunjukkan bahwa ketentangan itu merupakan ketenangan dinamis.

Tujuan akhir pernikahan yakni melaksanakan tugas kehalifahan dalam pengabdian kepada Allah SWT. Dengan maksud ter sebut, lahir fungsi-fungsi yang harus diemban oleh keluarga.

slug . '" class="' . $tag->slug . '">' . $tag->name . ''; } } ?>