Anggota DPD RI Tuntut Amandemen UU 1945 Masukan Penghapusan Pasal Presidential Threshold


AKTUALITAS.ID –  Anggota Komite I DPD RI, Abdul Rachman Thaha menuntut agar amandemen pada Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 memasukkan agenda penghapusan pasal terkait ambang batas presiden atau presidential threshold.

Ia mengatakan kendati pimpinan MPR telah menegaskan bahwa amandemen UUD 1945 tidak akan memasukkan pasal ihwal masa jabatan presiden, namun menurutnya hal itu harus disertai dengan revisi pasal-pasal tentang syarat calon presiden/wakil presiden.

Menurut Thaha, jabatan presiden harus terbuka bagi seluruh rakyat Indonesia. Seluruh rakyat, tanpa kecuali, boleh mengajukan dirinya tanpa disaring dengan ambang pembatasan apa pun.

“Saya mengambil posisi berseberangan dengan Ketua MPR RI. Posisi ini saya ambil selama MPR RI tidak menjadikan penghapusan presidential threshold sebagai poin dalam amandemen UUD 1945. Seluruh anggota dan pimpinan DPD RI, selaku representasi wakil rakyat nirpartisan, seyogianya memiliki penghayatan dan gerak langkah yang sama dalam persoalan ini,” katanya dalam keterangan tulis, Jumat (9/7/2021).

“Yaitu, membuka ruang seluas-luasnya bagi seluruh rakyat Indonesia, serta meniadakan ganjalan presidential threshold, sebagai garis start untuk membawa kehidupan negara-bangsa ke era yang lebih baik,” sambungnya.

Sikap berseberangan yang dimaksud Thaha adalah soal pernyataan Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo, pada 5 Juli 2021 lalu, yang hanya akan membahas dua pasal dalam rencana amandemen UUD tersebut, yakni soal pasal tentang pemberian kewenangan kepada MPR untuk mengubah dan menetapkan Pokok-pokok Haluan Negara (PPHN); serta penambahan ayat pada Pasal terkait kewenangan DPR untuk menolak RUU APBN.

Thaha melanjutkan, presidential threshold menjadikan pengajuan calon pemimpin nasional sebagai kekuasaan hegemonik parpol. Ia mengakui bahwa parpol memang tidak terlarang. Kehadiran parpol bahkan merupakan keharusan dalam tatanan demokrasi.

“Namun kekuasaan yang menghegemoni oleh parpol tidak semestinya dibiarkan, terlebih pada konteks pencalonan presiden dan wakil presiden,” tegasnya.

Presidential threshold yang dibiarkan hidup di dalam situasi sedemikian rupa, kata Thaha nantinya memang tetap akan bisa menghasilkan duet kepemimpinan nasional. Tapi presiden dan wapres dari sistem tersebut akan sejak dini mengalami defisit keterwakilan. Individu yang terpilih sebagai presiden akan menjadi sosok yang lebih merepresentasikan parpol, bukan sosok yang sungguh-sungguh merepresentasikan rakyat.

“Presiden semacam itu, betapa pun terpilih lewat mekanisme yang legal, saya khawatirkan tidak akan mampu mengeluarkan situasi serba membingungkan yang terasa semakin berat belakangan ini,” ujarnya.

Saat ini, menurut Thaha bangsa Indonesia perlu untuk mendobrak hegemoni parpol. Supaya presiden yang terpilih nanti bukan mereka yang loyal ke parpol ketimbang rakyat.
“Kita harus menemukan individu-individu yang sungguh-sungguh menunjukkan komitmennya pada isu atau persoalan, bukan individu yang menonjolkan loyalitasnya pada partai,” tandasnya.

Seperti diketahui, dalam Pasal 6 A UUD 1945 dijelaskan soal prasyarat WNI bisa diajukan sebagai presiden dan wakilnya. Di mana salah satu poinnya mesti didelegasikan oleh parpol.

Berikut isi lengkapnya:

(1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.

(2) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.

(3) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.

(5) Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang.

slug . '" class="' . $tag->slug . '">' . $tag->name . ''; } } ?>